Lifestyle

3 Sisi Lain ‘Citayam Fashion Week’ di Stasiun Sudirman

Dari olok-olok hingga fesyen jalanan, Stasiun Sudirman yang dipadati sejumlah remaja Citayam dan sekitarnya, punya banyak cerita.

Avatar
  • July 5, 2022
  • 6 min read
  • 701 Views
3 Sisi Lain ‘Citayam Fashion Week’ di Stasiun Sudirman

Media sosial, dari TikTok hingga Instagram belakangan dipenuhi dengan fenomena unik di kawasan Stasiun KRL Sudirman dan MRT Dukuh Atas BNI. Daerah yang dahulu hanya dipadati para komuter atau orang-orang kantoran, kini bersalin wajah jadi tempat nongkrong anak baru gede (ABG) Citayam, Bojong Gede, hingga Cilebut.

Kemunculan mereka dilatarbelakangi oleh akses yang relatif mudah menuju Sudirman menggunakan kereta listrik (KRL). Cukup merogoh kocek Rp.3000, jarak 20 km dilipat sedemikian rupa, lewat perjalanan yang ekstra nyaman dan cepat.

 

 

Sudirman sendiri dipilih lantaran ini memberikan imej ibu kota yang khas: Gedung-gedung tinggi hingga terowongan stasiun yang instagramable. Biasanya, para remaja ini menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama, bernyanyi sambil memetik gitar, bermain skateboard, atau sekadar mejeng.

Dari pelbagai kegiatan ini, ada pemandangan relatif unik di Stasiun Sudirman, yakni Citayam Fashion Week. Istilah “Citayam Fashion Week” sendiri dipopulerkan oleh kreator konten TikTok, @radita.pradana untuk menunjukan remaja-remaja dari kota satelit, Depok dan Bogor yang percaya diri unjuk gigi berbusana nyentrik.

Buat sebagian orang, selera fesyen mereka mungkin dianggap aneh, norak, atau nyeleneh. Namun, Citayam Fashion Week tak bisa dilihat dari satu dimensi saja. Ada tiga hal unik yang nampaknya penting untuk kita perhatikan bersama:

Baca Juga:  Di Balik ‘Maternity Clothes’: Beri Kenyamanan, Halangi Ekspresi Diri

1. Ruang Publik yang Direbut Kembali

Public spaces not a “nice to have” but a basic need for cities.

Begitulah tajuk artikel World Bank dalam laman resminya. Membaca artikel itu, membuat kita sadar tiap kota sebenarnya membutuhkan ruang publik sebagai kebutuhan dasar. Faktanya masih banyak kota di seluruh dunia yang krisis ruang publik, karena dijejali gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan. Privatisasi merajalela, sehingga ruang-ruang publik seperti taman kota dibangun seadanya.

Dalam penelitian Privatization Of Public Space From Civic Centre To Central Business District (A case study of Simpang Lima Area Semarang) (2013) dijelaskan, minimnya ruang publik mendorong privatisasi besar-besaran yang justru menimbulkan masalah baru.

Imbas privatisasi ini tak main-main, dari terhambatnya kegiatan ekonomi, pencemaran lingkungan, mengurangi stabilitas dan keamanan sosial, serta meningkatnya segregasi sosial seiring kemunculan kelompok eksklusif, yang mengklaim ruang publik sebagai wilayahnya sendiri.

Segregasi sosial inilah jadi salah satu masalah utama di Jakarta. Fenomena Citayam Fashion Week menyadarkan kita bagaimana ruang publik telah mengubah mindset banyak orang, utamanya dari kelas menengah atas. Di media sosial tak sedikit orang-orang dari kelas menengah atas berkomentar sinis. Mereka melihat remaja Depok dan Bogor mencemari kawasan Sudirman. Maksudnya, kawasan yang identik dengan kelompok elit, pekerja kantoran kerah putih, berubah jadi kawasan “kumuh”.

Sinisme mereka ini di satu sisi jadi pertanda bagaimana akhirnya ruang publik akhirnya bisa direbut kembali. Kawasan Sudirman tak lagi jadi milik sekelompok orang saja tapi semua orang dari berbagai lapisan masyarakat. Hal ini sebenarnya adalah esensi dari ruang publik yang Stephen Carr dalam bukunya Public Spaces (1998) sebutkan. Bahwa, ruang publik memiliki aspek universalitas. Itu mempertimbangkan berbagai kelas dan status masyarakat tanpa kecuali. 

Baca Juga: Eksploitasi Buruh Perempuan di Tengah Gemerlap Bisnis Fesyen Muslim

2. Kota yang Di-Liyan-kan

Citayam Fashion Show tak ayal membuat kebanyakan dari kita melihat anak-anak remaja ini sebagai “alien”. Mereka berbeda, datang dari kota satelit dan penyangga ekonomi, sehingga eksistensinya di tengah kota pun jadi perbincangan.  

Dalam imaji orang kebanyakan, kota-kota satelit ini dilihat sebagai wilayah yang tak terjamah penuh oleh modernitas. Infrastruktur tak merata dengan segala kendalanya.

Pun, warga-warganya punya kelas sosial yang tak sama dengan daerah pusat ibu kota. Kota-kota satelit jarang sekali diasosiasikan dengan kota modern yang maju, melainkan lekat dengan label “keterbelakangannya”.

Belum lagi imaji ini juga dibangun oleh fakta banyaknya warga kota satelit yang bekerja di Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI pada 2015 disebutkan, 1,3 juta komuter yang berkegiatan di Jakarta, kebanyakan berasal dari Bogor, Depok, Tangerang.

Maka tak heran, ada gurauan yang berkaitan langsung dengan kota-kota satelit. Mulai dari ungkapan “Jamet Depok” yang ditunjukkan pada anak-anak remaja laki-laki alay, “beda planet” atau “beda galaksi” untuk mengindikasikan perbedaan jarak yang bahkan tak sampai 60 km jauhnya, sampai normalisasi kejadian kriminal berulang seperti begal karena “sudah sewajarnya” terjadi di kota “pinggiran”.

Apa yang terjadi pada kota-kota satelit seperti Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi pun sebenarnya jadi fenomena jamak di dunia. Kota-kota satelit yang notabene bukan pusat perekonomian negara diliyankan atau jadi olok-olok. Sebut saja Sussex di Inggris atau New Jersey di Amerika.

Dilansir dari NYU Local, orang-orang New York gemar mengejek New Jersey, bahkan mereplikasi ajakan itu di berita dan serial TV How I Met Your Mother. New Jersey yang berbeda dari New York, dibingkai sebagai kota kumuh yang bau dengan segala keterbelakangannya, sampai-sampai warga New Jersey sendiri melayangkan perlawanan dengan kampanye Jersey Don’t Stink.

Aaron Marks, penulis artikel ini pun mengungkapkan hipotesisnya tentang alasan mengapa kota-kota ini diliyankan. Hipotesisnya adalah orang-orang yang mengejek kota-kota ini insekyur atas apa yang mereka punya. Mereka merasa butuh memiliki klaim identitas diri. 

Baca Juga: Siapkah Indonesia Usung ‘Genderless Fashion’?

3. Kebebasan Berekspresi lewat Busana Citayam Fashion Week

Bonge dan Kurma. Kedua nama remaja asal Citayam dan Bojong Gede ini mendadak viral setelah mereka diwawancarai oleh @KutipanX beberapa minggu lalu di kawasan stasiun Sudirman dan MRT Dukuh Atas BNI. Pada video yang diunggah pada 6 Juni lalu, penampilan Bonge dan Kurma jadi perbincangan publik. Pasalnya, keduanya seperti para ABG-ABG dari kota satelit lain, berbusana ala-ala street fashion.

Bonge misalnya tampil dengan rambut gondrong, poni lempar, setelan jaket full print, celana, dan tas pinggang senada berwarna hitam. Sementara, Kurma terlihat mantap dengan rambutnya yang di-highlight blonde. Ia juga membalut tubuhnya dengan pakaian berwarna monokrom. Lengkap dengan top bust dan jaket jeans hitam yang dipadupadankan dengan celana jeans biru dan tas selempang pita berwarna hitam.

Kepercayaan diri keduanya dan ABG-ABG lain di kawasan ini, sontak mendapatkan respon beragam. Ada yang mengolok, ada juga yang memuji. Mereka yang memuji Citayam Fashion Week mengidentikkannya dengan Shibuya Street Fashion.

Dilansir dari Ryusei, jika gaya fesyen Barat cenderung mengarah kepada busana high class dengan barang-barang branded, di Jepang justru sebaliknya. Fesyen di Jepang adalah medium untuk berekspresi dan jadi bagian dari identitas para kaum muda. Sehingga, kita bebas menggunakan apa pun tanpa perlu takut untuk dihakimi.

Maka tak heran Shibuya Street Fashion menjadi tren sejak lama. Apalagi di kalangan para perempuan muda yang secara sosial diberikan tekanan dari masyarakat untuk bersikap atau berperilaku. Melalui street fashion, muda mudi Jepang seperti melayangkan deklarasi terbuka (fashion statement) bahwa mereka enggan untuk tunduk pada aturan kaku tersebut. Mereka lantas memunculkan gerakan fesyen sendiri yang sesuai dengan identitas diri.

Inilah sebenarnya yang kita lihat dari Citayam Fashion Week. Remaja-remaja ini adalah cerminan dari kelompok masyarakat yang memutuskan jadi diri mereka sendiri. Tak peduli apa kata orang lain, tak peduli mereka disindir karena memakai barang branded KW dan mix and match baju yang dianggap lame atau nyeleneh, asalkan busana yang mereka kenakan bisa jadi ruang berekspresi, itu akan dilakukan dengan kepercayaan diri penuh.

Apa yang dilakukan remaja-remaja ini justru harus diapresiasi. Di tengah masyarakat yang terus menekankan konformitas, remaja-remaja ini justru hadir membawa pesan tentang tak apa-apa menjadi berbeda dan menjadi diri sendiri.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *