Politics & Society

Belajar dari Masa Lalu untuk Pilih Calon Terbaik

Sebelum memilih, ada baiknya kita kembali ke masa lalu sejenak, mengenang kembali sejarah kelam pemerintah otoriter di Indonesia. Karena mereka yang melupakan masa lalu cenderung akan mengulanginya.

Avatar
  • July 4, 2014
  • 7 min read
  • 342 Views
Belajar dari Masa Lalu untuk Pilih Calon Terbaik

Ada setidaknya empat jenis orang di Indonesia dilihat dari perilaku mereka menanggapi kampanye calon presiden dalam pemilihan presiden kali ini.

Kelompok pertama adalah mereka yang sangat bersemangat mendukung capres pilihan mereka; lalu ada yang mengaku netral tetapi cenderung mencela salah satu capres; ada juga kelompok yang tidak bisa menunjukkan keberpihakannya karena alasan profesional; dan yang terakhir adalah mereka yang memilih untuk tidak berkomentar sama sekali tentang pemilihan presiden ini.

 

 

Saya punya teori tentang kelompok ke empat yang tampak sangat enggan mengekspresikan pendapat mereka.

Mereka kemungkinan adalah orang-orang yang belum memutuskan pilihan capres mereka, atau mereka ingin menghindari konflik karena dikelilingi oleh orang-orang yang berbeda pilihan. Namun ada kemungkinan lain di balik kebungkaman mereka: mereka mungkin mengganggap politik bukan urusan orang awam.

Saya sangat memahami alasan ini, karena saya dibesarkan untuk menjadi pribadi seperti mereka.

Bukannya orangtua saya tidak pernah bersentuhan dengan dunia politik. Ayah saya mantan aktivis mahasiswa yang turun ke jalan untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno dan mendukung naiknya rezim Soeharto pada 1966. Ayah sangat menggemari dunia politik, namun keluarga akhirnya membuatnya memilih untuk berkarir di dunia perbankan.

Seperti jutaan remaja lain di masa Orde Baru Soeharto, saya tumbuh tanpa bersinggungan dengan politik. Generasi kami dibesarkan dengan mitos bahwa Indonesia adalah negara yang istimewa, yang dihuni oleh orang-orang yang ramah dan berbudaya, negara yang kaya akan sumber daya alam. Kami dicekoki ajaran bahwa negara bisa aman dari musuh (komunis dan kelompok-kelompok radikal) berkat angkatan bersenjata kita, dan berkat kesaktian Pancasila.

Lima tahun sekali masyarakat Indonesia memilih satu dari tiga partai politik (parpol) untuk menduduki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang diikuti oleh terpilihnya kembali Soeharto, sang “Bapak Pembangunan”. Inilah demokrasi yang kami kenal saat itu.

Tentu kami tahu bahwa sebagian besar perekonomian negara dikendalikan oleh tangan-tangan bisnis keluarga dan kroni Soeharto, namun ini sudah seperti norma dibandingkan pengecualian.

Kami tidak pernah mempermasalahkan para pejabat pemerintah yang menyalahgunakan kekuasaan mereka. Jika Anda seorang menteri atau dirjen pada saat itu, akan sangat janggal jika Anda tidak tinggal di rumah bak istana dengan garasi yang disesaki mobil-mobil mewah.

Saya diberitahu bahwa para pejabat yang tidak kaya akan menjadi sasaran cemoohan rekan mereka karena dianggap “terlalu idealis”, sikap bodoh dan non-kompromistis yang membuat rekan-rekan lainnya tampak buruk.

Ketika remaja saya hampir tidak tahu bahwa banyak orang yang terbunuh di Aceh, Irian Jaya (sekarang Papua dan Papua Barat) dan Timor Timur (sebelum melepaskan diri dari Indonesia) dan jutaan orang lainnya hidup dalam ketakutan di bawah cengkeraman operasi militer terhadap gerakan separatis.

Meskipun kami sering merayakan Imlek dengan teman keluarga, baru 20 tahun kemudian tahun baru Cina dijadikan hari libur nasional. Pada masa itu, tidak ada yang berani mengucapkan “Gong Xi Fa Cai” di muka umum.

Saya juga tidak mengetahui bahwa banyak orang Indonesia Tionghoa mengalami kesulitan mendapatkan KTP, dan bahwa mereka dipaksa untuk mengganti nama asli mereka menjadi nama yang lebih Indonesia. Saya tidak pernah mempertanyakan mengapa jarang sekali orang etnis Tionghoa di birokrasi apalagi menjadi pejabat pemerintah.  

Media pun tidak memberitakan bagaimana anak-anak dan keluarga orang-orang yang disangka komunis dan para simpatisannya kesulitan mendapat sekolah dan pekerjaan karena stigma komunis yang melekat pada diri mereka.

Saya juga tidak terinformasi soal penindasan tokoh Muslim yang vokal dan aktivis pro-demokrasi. Dan setiap kali terjadi pembreidelan surat kabar atau majalah karena liputan yang kritis terhadap pemerintah, saya menganggap kesalahan mungkin ada di media.

Saya hidup dalam ilusi Indonesia yang indah, aman dan tenteram, karena saya adalah produk sukses dari rezim yang berhasil membuat kaum mudanya menjadi generasi yang apolitis, apatis dan tidak kritis.

Suatu hari di tahun 1989, saat mengikuti program pertukaran pelajar SMA di Amerika Serikat, saya sedang diperiksa oleh seorang dokter ketika ia menanyakan negara asal saya.

“Ah, Indonesia!” ia melihat saya dengan bersemangat ketika mendengar jawaban saya.

“Negara Anda punya presiden yang sama selama lebih dari 20 tahun, kan? Kenapa bisa begitu lama?”

Saya malu karena tidak bisa menjawab pertanyaannya. Sampai saat itu saya tidak pernah menyadari bahwa Soeharto telah begitu lamanya berkuasa – tidak pernah mempertanyakan mengapa kami tidak memilih presiden kami dalam pemilu.

Politik bukanlah sesuatu hal untuk  dibicarakan, apalagi dipertanyakan. Politik hanya dibahas oleh orang-orang di pemerintahan dan para politikus, kecuali Anda siap dicap “subversif”.

Sekembalinya dari Amerika pada 1996, menjelang runtuhnya rezim Soeharto, saya berkerja sebagai wartawan di harian The Jakarta Post. Karena media ini berbahasa Inggris, kami masih dapat bersikap sedikit lebih kritis dibandingkan media lain, dan sering lolos dari pengawasan ketat Departemen Penerangan, tentunya dengan gaya penulisan yang diperhalus.

Namun iklim politik saat itu telah mencapai titik paling represif. Beberapa aktivis pro-demokrasi telah hilang, dan baru belakangan kita mengetahui bahwa mereka diculik dan disiksa oleh sebuah tim Pasukan Khusus (dari 23 orang yang diculik, sembilan orang dibebaskan setelah runtuhnya Orde Baru, satu ditemukan tewas dan sisanya tidak pernah terdengar lagi kabarnya).

Pemerintah makin memperketat sensor pada media dan masyarakat awam kelas menengah yang apolitis semakin berhati-hati menyuarakan pendapatnya. Orang tua saya sering menyuruh saya diam jika saya sedang bercerita dengan semangat tentang isu-isu politik, karena khawatir saya bisa “dijemput” seperti yang terjadi pada anak teman mereka.

Lalu krisis ekonomi melanda Asia. Protes mahasiswa semakin sering terjadi, kerusuhan pecah, media menjadi lebih berani, dan Soeharto ditentang oleh kabinetnya sendiri. Pada 21 Mei 1998, ia mengumumkan pengunduran dirinya, dan era Reformasi dimulai.

SEKARANG

Dan inilah yang mengantar kita sampai ke sini, 16 tahun setelah proses demokratisasi bergulir di Indonesia.

Pemilihan Presiden pekan depan akan menentukan ke arah mana Indonesia akan dibawa. Satu arah terhubung ke masa lalu yang kelam – bagian dari sejarah yang terancam diputihkan bahkan dipuja-puja. Arah lainnya bisa memastikan kita akan terus di jalan demokrasi, meskipun banyak rintangan.

Selama tiga puluh tahun lebih, saya tidak memiliki kemewahan untuk memilih Presiden saya sendiri. Sekarang saya ingin mengajak Anda untuk memastikan kita tidak akan kembali ke masa-masa itu lagi.

Apakah kita akan memilih seorang jenderal yang dipecat dari militer karena perannya dalam penculikan aktivis? Atau apakah kita akan memilih capres pertama di Indonesia yang bukan bagian dari elit politik?

Kita sekarang memiliki pilihan antara seseorang yang 10 tahun terakhir menjabat kepala daerah yang dipilih rakyat dan yang telah membuat banyak terobosan, atau kandidat yang tidak pernah memegang jabatan pemimpin di pemerintahan sipil selama hidupnya.

Kita dapat memilih seorang pemimpin yang mengutamakan nilai-nilai integritas dan kerja keras lewat perubahan mentalitas setiap individu, atau seorang pemimpin yang memenuhi retorikanya dengan menakut-nakuti masyarakat akan “musuh” dari luar (apakah itu pihak asing, musuh-musuh Islam, atau komunis).

Ini juga berujung pada pilihan kita: Apakah kita ingin mengubah praktik politik para elit kita, atau mempertahankan karakter politik transaksional?

Apakah kita ingin pemimpin yang didukung oleh tim intelektual yang non-partisan dan orang-orang kreatif? Atau seorang politisi yang dikelilingi oleh tokoh-tokoh kontroversial dan kelompok-kelompok agama bergaris keras?

Ini adalah pilihan antara seorang pemimpin yang menginspirasi puluhan ribu relawan, atau seorang pemimpin politik yang terbiasa memobilisasi massa.

Ini juga pilihan antara pemimpin yang melakukan pendekatan komunikatif dengan publik untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran, atau pemimpin yang menawarkan solusi top-down.

Pilihan antara pemimpin yang memiliki rekam jejak dalam ketegasannya menjaga keberagaman, atau pemimpin yang menunjukkan ketidakkonsistenannya dalam banyak hal.

Pilihan antara pemimpin yang menginspirasi karya musik seperti ini, atau pemimpin yang memuji dan membela karya musik seperti ini?

Pilihan antara pemimpin yang menghormati kebebasan pers, atau pemimpin yang melihat pers sebagai potensi musuh.

Apakah kita akan memilih seorang yang berhasil karena kerja kerasnya sendiri, meskipun dari keluarga yang tidak beruntung?

Atau apakah kita memilih seorang yang sejak lahir sudah mendapatkan keistimewaan dan pernah menjadi bagian dari klan paling berkuasa di negara ini sebagai bekas menantu Soeharto?

Bagi saya ini semua bermuara pada dua fakta ini: calon yang satu adalah produk murni demokrasi pasca-1998, sementara yang satunya lagi telah berkali-kali menunjukkan ketidaknyamanannya akan demokrasi.

Sore hari 9 Juli nanti, kita akan mengetahui apakah Indonesia akan memilih Prabowo Subianto atau Joko Widodo. Gunakan kesempatan dengan bijaksana dan pilihlah yang terbaik dari kedua calon ini.

Ikuti @dasmaran di Twitter.


Diterjemahkan oleh Lenita Sulthani dari artikel “Remember the Past, Choose the Better Candidate“.


Avatar
About Author

Devi Asmarani

Devi Asmarani is the co-founder and Editor-in-Chief of Magdalene. She has enjoyed resisting every effort to tame her and ignoring every expectation tied to her gender.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *