Culture Prose & Poem

Besok Giliranku Mati

Fiksi distopia ala Orwell tentang negara dan masyarakat Indonesia imajiner.

Avatar
  • October 16, 2019
  • 5 min read
  • 117 Views
Besok Giliranku Mati

Namaku Danang. Umurku 33 tahun dan besok giliranku untuk mati. 

Jadi hari ini aku pergi ke kantor Kementerian Kontrol untuk membuat laporan supaya mereka bisa memperbarui data kependudukan nanti. Jadwal kematianku dikirim tiga bulan lalu oleh Dirjen Eksekusi. 

 

 

Warga di sini diberi waktu tiga bulan untuk menyelesaikan berkas-berkas kematiannya, termasuk memberitahu tuan tanah mereka agar segera mencari penyewa baru. 

Beberapa temanku sering mengeluh bahwa di negara lain, orang bisa punya waktu enam bulan hingga setahun untuk mengurus hal itu, sehingga mereka bisa menyelesaikan proyek kantor tanpa terburu-buru sebelum kemudian mundur. Tapi buatku tidak masalah. Namanya juga negeri ini. Tidak ada yang sempurna. Toh, kita semua akan sama-sama bangun di Seberang. Sedari kecil, itu saja yang mereka selalu bilang: “Kamu akan bangun di Seberang.” Demikian yang guru-guru dan perawatku katakan setiap saat. Mereka orang-orang yang paling tahu. Jadi tidak mungkin bohong.

Layar ponselku berkedip menyala. Nomorku dipanggil. Aku bergegas ke konter. Ruangan itu seluruhnya putih, bersih, dan mengkilap. Tidak ada satu pun petugas– memang tidak perlu, karena kami bangsa beradab. Kementerian Kontrol telah memperbarui mesin-mesin penerima slip laporan menjadi versi yang paling baru– tampaknya buatan Amerika. Canggih sekali. Orang tinggal menaruh slip di atas permukaan datar dan mesin di atas akan memindai kode batangnya, lalu secara otomatis memperbarui sistem dengan data. Aku terkagum-kagum melihatnya. Waktu aku menemani temanku dulu (28), orang masih harus mengisi data secara manual ke tablet.

Setelah selesai dari kantor kementerian, aku mampir di warteg untuk makan siang. Sambil makan, aku membuka Facebook dan menulis status: “Lights out tomorrow. Goodbye! Besok aku pergi. Selamat tinggal!” Tombol post kutekan dan ponsel kumasukkan ke kantong. Tempe hari ini agak alot. Namun kangkung terasinya lebih enak dari kemarin. Tidak apa-apa. Daging ayamnya gurih dan lembut seperti biasa. 

Baca juga: (Bukan) Rumah untuk Semua

Aku membayar makananku dan mengucap selamat tinggal. “Wis pergi besok toh?” tanya si Mbok Sepi, yang sedang mengelap piring-piring baru selesai dicuci. Umur Mbok Sepi sudah di atas 35, tapi dia masih saja di sini. Di warteg-nya. Rumor bilang ada pejabat yang ketagihan daging ayam itu, sehingga namanya belum kunjung masuk daftar Dirjen Eksekusi.

“Jam piro?” tanya Mbok Sepi lagi.

Sepuluh pagi, balasku, lalu aku melambaikan tangan dan beranjak pulang.

Hari terakhirku di kantor sudah seminggu yang lalu. Meja kayu berwarna salem pucat tempat aku bekerja selama 13 tahun itu sudah kubersihkan. Siap menerima anak lulusan baru. Jeko, teman satu ruangan, membelikan kue perpisahan. Kue itu langsung ludes dalam lima menit setelah timku berkumpul di pantri. Bos menepuk punggungku dan menjabat tanganku. Sekitar jam lima sore aku keluar dari gedung kantor aplikasi super terbesar negeri ini untuk terakhir kalinya. 

Selama tujuh hari berikutnya aku hanya menikmati waktu luang. Sudah tidak ada lagi yang bisa aku kerjakan. Barang-barang di rumah sudah dipak rapi. Lengkap dengan label yang kutempel di masing-masing kardus. Tinggal nanti ada orang datang untuk mengangkut ke tempat donasi atau tempat sampah. Jadi aku hanya menonton TV, main Instagram, dan memberitahu orang-orang yang sesekali pernah mengobrol denganku tentang jadwal kematianku.

Untunglah aku laki-laki. Tidak ada anak yang harus kutitipkan. Hampir pasti aku punya anak, meski tidak tahu berapa. Tidak pernah ketemu satu pun. Pada umur dua puluh, setiap laki-laki diwajibkan untuk menyumbang sperma. Satu semprot saja cukup. Bisa dipakai, bisa juga tidak. Terserah Kementerian Kontrol. Benih-benih itu kemudian ditabur pada sebagian perempuan yang memang diberi tugas reproduksi. Kebanyakan pada umur enam belas, setahuku.

Sementara, sebagian perempuan lagi disterilkan agar dia seperti laki-laki–tidak merepotkan untuk bekerja. Sistem yang sangat baik bukan? Belum pernah sebelumnya dunia lebih efisien! Kesetaraan gender juga sudah tercapai: rata-rata umur laki-laki dan perempuan saat dijadwalkan mati sama saja. Hampir tidak ada bedanya. Bahkan perempuan diizinkan hidup sedikit lebih lama untuk mengurus anak-anak sampai mereka sepenuhnya lepas dari kebutuhan ASI. Sangat progresif.

Baca juga: Ketika Cut Nyak Dien Terlempar ke Mesin Waktu

Demikianlah masalah populasi, sumber daya, dan produktivitas dapat teratasi…sekali jalan! Generasi kami memang paling beruntung. Buktinya, bulan lalu ekonomi tumbuh 12 persen. Luar biasa.

Aku melirik dinding. Jam sembilan malam. Sebentar lagi waktunya tidur. Aku beranjak ke dapur untuk membuat teh panas rasa leci dan mengudap biskuit. Jangan sampai aku bangun terlambat untuk eksekusi besok. Warga negara yang baik selalu tepat waktu–demikian nasehat Kementerian Kontrol yang ditayangkan setiap setengah jam di TV. Dan tentu saja aku warga negara yang baik. Jadi, aku mematikan lampu ruang tengah dan beranjak tidur.

Ruang eksekusi itu putih, bersih, dan mengkilap. Kamu bisa berkaca pada lantai. Persis seperti kantor kementerian. Alih-alih jejeran konter, sebuah tempat tidur dipasang di tengah. Ada meja kaca ramping setinggi pinggang berdiri anggun di sampingnya.

Ranjang kematian itu terlihat seperti tempat tidur paling nyaman di dunia. Seperti yang ada di majalah katalog Ikea. Bantal-bantal tebal bertumpuk di kepala tempat tidur.

Aku berbaring di atasnya. Seorang dokter bergegas masuk. Wajahnya tertutup masker. Dia melirik ke arahku saat membantuku melipat tangan dan meluruskan kaki.

“Berapa menit setelah mati sebelum aku bangun di Seberang?” tanyaku pada sang dokter.

Laki-laki berumur empat puluhan itu cuma tertawa kecil. Dokter memang dapat hidup lebih lama. “Harus kuakui,” gumamnya dari balik masker tebal itu. “Bahwa setiap dari kalian percaya akan dongeng Seberang sampai di saat terakhir… betul-betul mengagumkan,” katanya sambil menyuntikkan cairan itu ke leherku. “Ilegal bagiku untuk bilang begitu, sebetulnya. Namun tidak mengapa. Toh, kamu tidak akan bisa melapor,” ia menyeringai.

“Tu…tunggu dulu,” aku terbata. Aku ingin bertanya lebih jauh, tapi rasanya sudah mengantuk sekali. Kemudian dari kesadaran itu, aku mulai jatuh ke dalam gelap. Lampu putih dan wajah bermasker sang dokter itu menjadi semakin jauh. Segalanya termakan hitam. Aku jatuh, jatuh, dan jatuh.


Avatar
About Author

Antonia Timmerman