Issues

Bias Kelas Kebijakan Kesehatan Perparah Krisis COVID-19

Kebijakan kesehatan publik yang buruk serta tidak berpihak pada kelompok rentan, memperparah krisis pandemi di Indonesia.

Avatar
  • July 21, 2021
  • 6 min read
  • 390 Views
Bias Kelas Kebijakan Kesehatan Perparah Krisis COVID-19

Inisiator platform LaporCovid-19 Irma Hidayana mengatakan, di tengah kondisi pandemi COVID-19 yang kian memprihatinkan di Indonesia, hal yang penting untuk diperhatikan adalah perbedaan nasib dan kemampuan bertahan hidup bagi tiap kelompok sosial-ekonomi. Dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Sesak Kelas di Tengah Pandemi’, (17/7)  yang dilaksanakan Purple Code Collective, Irma menyinggung, dilihat dari kacamata kesehatan masyarakat, semakin rendah kondisi sosial ekonomi seseorang, semakin rentan pula dia terdampak pada masa krisis sekarang.

Tingginya Social Economic Status (SES) seseorang berkorelasi dengan luasnya akses kesehatan. Mereka memiliki kualitas kesehatan yang jauh lebih baik dari orang-orang miskin. 

 

 

Meski begitu, di tengah pengalamannya mendampingi beberapa keluarga dan pasien COVID-19 di Indonesia, Irma justru mendapatkan temuan yang tak biasa. Ia mengenang pengalamannya mendampingi dua orang pasien yang sama-sama berasal dari kelas ekonomi menengah ke atas dan tinggal di ibu kota. Keduanya membutuhkan perawatan segera, sudah mencari pertolongan ke berbagai rumah sakit hingga home care service, tapi tak kunjung mendapatkannya. 

“Dua kasus ini menunjukkan penyimpangan, titik di mana ternyata bahkan SES pun jadi kacau (tak lagi memengaruhi akses kesehatan). Orang-orang mampu saja tidak dapat fasilitas kesehatan, bagaimana dengan orang-orang yang berasal dari kelompok menengah ke bawah? Ini menunjukkan betapa buruknya situasi pandemi, terutama di daerah episentrum kasus seperti Jakarta dan sekitarnya,”ujar Irma. 

Baca juga: Nasib Buruh di Tengah Pandemi, Tanggung Jawab Siapa?

Transparansi Pemerintah Dipertanyakan

Beberapa bulan terakhir, kasus orang terinfeksi COVID-19 mengalami lonjakan. Irma menyebutkan, merujuk temuan-temuan dari LaporCovid-19 per 17 Juli 2021, 651 orang meninggal di rumah pada saat melakukan isolasi mandiri. Tenaga kesehatan yang meninggal selama pertengahan bulan Juli ini sudah mencapai 206 orang. Hal itu disebabkan oleh minimnya akses terhadap fasilitas kesehatan (faskes). 

Di satu sisi, berbagai rumah sakit dan fasilitas kesehatan lain sudah kolaps, termasuk para relawan dan gerakan sosial yang berupaya membantu pasien COVID-19. Di sisi lain, Irma melihat masih ada upaya yang pemerintah lakukan untuk membuat masyarakat merasa tidak panik, tapi tanpa menjelaskan secara transparan kondisi yang sedang dialami. 

Padahal, menurut Irma, ketika bencana terjadi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan situasi yang sebenarnya secara terbuka melalui komunikasi risiko kesehatan publik (public health risk communication) agar masyarakat mengetahui akar persoalan yang dihadapi. Alih-alih hanya memberitahukan angka kesembuhan agar masyarakat berpikir positif, pemerintah Indonesia seharusnya memberikan edukasi mengenai cara-cara pencegahan serta memberitahu apa saja langkah yang sudah mereka lakukan untuk menangani situasi ini, tambah Irma.

“Saya tidak sepakat kalau dibilang faskes kita itu tidak kolaps, hanya overcapacity. Kalau overcapacity itu pasien cuma tidak bisa ditampung, tapi tidak ada konsekuensi kesehatan atau dia kehilangan nyawa. Yang terjadi kan tidak seperti itu. Bagaimana bisa mengatakan ini terkendali? Ini menggambarkan sesuatu yang tidak baik-baik saja karena tak diberikan akses kesehatan yang memadai,”kata Irma.

“Dulu, kami membantu mencari rumah sakit, Puskesmas, ICU, ventilator, itu susah banget. Kebanyakan pasien meninggal, mostly ditolak rumah sakit. Ada yang meninggal dalam perjalanan. Kami sendiri sudah tidak merasa mampu untuk membantu mencari rumah sakit. Bukan karena ketidakmampuan kami, tapi karena tidak ada lagi yang bisa membantu.”

Selain itu, faktor yang juga menyebabkan kondisi memburuk dan menambah kerentanan masyarakat dari kelompok menengah ke bawah ialah vaksinasi yang tidak diberikan secara adil. Menurut Irma, terdapat kesenjangan yang luar biasa dalam penerimaan vaksin di Indonesia. 

Baca juga: Berlapis Tekanan Para Tenaga Kesehatan 

Kendati World Health Organization (WHO) sudah menetapkan secara global bahwa kelompok rentan seperti tenaga kesehatan, lansia, dan orang dengan komorbid, harus mendapatkan vaksin lebih dulu daripada kelompok lain, tapi realitas di Indonesia justru menunjukkan kebalikannya. Kebanyakan orang yang mendapatkan vaksin lebih dulu adalah mereka yang memiliki afiliasi dengan negara, baik secara ekonomi maupun politik. Hal inilah yang memperburuk situasi Indonesia dalam menghadapi pandemi.

“Pekerja kreatif, selebritas, mereka yang punya banyak followers, malah divaksin duluan ketika belum semua nakes dan lansia divaksinasi. Ini menyalahi aturan yang ditetapkan dunia. Ini merefleksikan kalau yang tidak terafiliasi [dengan negara], ya, minggir dulu. Ini yang namanya vaccine inequity,” ungkap Irma.

“Dampaknya luar biasa besar. Mereka yang rentan jadi semakin rentan terinfeksi. Sudah terinfeksi, kemungkinannya jadi (mengalami gejala) parah dan meninggal. Kenapa umur tolok ukurnya? Karena aging, organ tubuh menua, respons imunitas dan cara tubuh melawan infeksi secara teori jadi lebih lemah.”

Permasalahan yang Berbeda Sesuai Kelas Sosial

Perdana Putri, mahasiswa program doktoral sosiologi di Northwestern University, Amerika Serikat membenarkan hal itu. Menurutnya, bagaimana situasi masyarakat dalam bertahan di tengah masa krisis ini tak bisa hanya dilihat dari satu kacamata identifikasi akar masalah. Senada dengan Irma, menurutnya, orang-orang dari berbagai kelas sosial dan kondisi menghadapi permasalahan berbeda yang tak bisa diselesaikan dengan solusi tunggal yang diberikan pemerintah.

Ketika orang-orang mengatakan bahwa orang-orang yang berasal dari kelompok SES menengah ke bawah memiliki kerentanan lebih misalnya, hal tersebut harus dikaji lebih dalam, khususnya tentang tantangan apa yang sebenarnya dihadapi tiap-tiap orang.

“Misalnya, penyandang disabilitas ada yang terlihat dan ada yang tidak. Mereka tidak semua sudah tua, tapi mereka punya komorbid, atau kondisinya sangat rentan, jadi terpapar sedikit saja langsung parah (kondisinya). Atau perempuan, beban dan jam kerjanya ketika pandemi jadi naik. Ada dimensi gender yang membuat semua orang jadi kacau ketika pulang ke rumah. Akhirnya, angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat,” ujar Perdana dalam diskusi yang sama.

“Kalau orang menghadapi masalah KDRT, dikasih uang sebanyak apa pun kan belum tentu membuat mereka lantas keluar dari situasi itu. Ada konsekuensi psikologis yang serius.”

Baca juga: Pandemi Memburuk, Relawan COVID-19 di Ujung Tanduk

Privelese Hanya Dinikmati Sebagian Kelompok Saja

Perdana menambahkan, ketika awal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) diterapkan dan dirinya merasa tak sanggup lagi untuk tinggal di Jakarta, ia memilih pindah ke rumah orang tuanya di Pekanbaru. Meski begitu, Perdana sadar betul bahwa itu adalah sebuah privilese untuk bertahan hidup yang tak dimiliki semua orang.

Melengkapi itu, menurut Irma dari Lapor COVID-19, kebijakan PPKM yang menuntut semua orang beraktivitas dari rumah melahirkan privilese bagi orang-orang yang bisa bekerja dari rumah tetapi tetap mendapatkan penghasilan. Hal itu memunculkan pukulan bagi para pekerja harian seperti buruh cuci, pekerja rumah tangga, hingga pedagang kecil karena tak bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

 Menurut Irma, privilese ini justru diglorifikasi oleh banyak pihak karena penerapan kebijakan yang seolah tak memberi pilihan apa pun bagi masyarakat kelas bawah untuk bisa bertahan hidup. Irma menilai, kebijakan yang seharusnya diberlakukan pemerintah menggunakan dasar hukum Undang-undang No. 6 tahun 2-18 tentang Kekarantinaan Kesehatan alih-alih kebijakan seperti PPKM Mikro, PPKM darurat, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan berbagai namanya.

“Di UU Kekarantinaan Kesehatan ini diatur, kalau negara melakukan karantina wilayah, termasuk penyekatan seperti PPKM ini, sudah dijamin kebutuhan dasar masyarakat itu dipenuhi oleh pemerintah pusat dan daerah. Jadi, yang bekerja harian itu enggak usah berangkat kerja. Di rumah aja, udah. Seharusnya, privilese [sebagian kelompok] itu enggak ada,” jelas Irma.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 


Avatar
About Author

Selma Kirana Haryadi

Selma adalah penyuka waktu sendiri yang masih berharap konsepsi tentang normalitas sebagai hasil kedangkalan pemikiran manusia akan hilang dari muka bumi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *