Issues

Candu itu Bernama Gaji Bulanan

Gaji bulanan adalah candu. Kita sangat menginginkannya hingga takut jika sewaktu-waktu kehilangan. Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Avatar
  • March 10, 2022
  • 7 min read
  • 557 Views
Candu itu Bernama Gaji Bulanan

Gue dulu tuh beneran nungguin banget momen gajian. ‘Duh gajian kapan ya?’ Selalu gitu. Bahkan kadang baru dua minggu gajian, gue udah nungguin lagi tuh momen itu. Terus karena gue terlalu stres jadinya pas dapet gaji pun, pelampiasannya beli barang yang sebenarnya enggak dibutuhin sama sekali. Impulsive buying.”

Begitulah cerita “Nova”, laki-laki kelahiran 1991 yang bercerita tentang pengalamannya beberapa tahun lalu saat bekerja sebagai Supervisor Development Programme di salah satu perusahaan asuransi di Indonesia. Selama lebih dari dua tahun, ia merasakan bagaimana gaji bulanan memberikannya sensasi kecanduan. Sehingga, ketika gajinya ludes dipakai, ia akan merasa sangat khawatir dan resah seakan membutuhkan suntikan baru.

 

 

Apa yang Nova rasakan ini pun berubah menjadi rasa takut. Dalam hal ini, ia takut ketika ingin keluar dari pekerjaannya karena sangat mengkhawatirkan pemasukannya.

Kepikiran banget itu. ‘Duh nanti enggak ada pemasukan rutin gimana’. Ngaruh banget lah ke keseharian gue. Ya gimana ya, gaji bulanan itu yang ngebuat gue stabil,” curhatnya.

Baca Juga:    Trauma Finansial Bebani Perempuan, Apa Jalan Keluarnya?

Apa yang dialami oleh Nova juga aku rasakan beberapa tahun yang lalu. Pola kecanduanku pun kurang lebih sama dengannya. Aku dulu begitu menunggu-nunggu momen gajian sampai pada titik bersusah payah menghitung hari yang tersisa sampai tanggal gajian tiba.

Namun, ketika telah menerimanya, aku akan langsung “menghamburkannya” tanpa pikir panjang. Alasannya sederhana. Karena aku telah lama menunggu momen ini tiba, sehingga butuh semacam selebrasi. Anak-anak sekarang menyebutnya self love lah.

Ketika gajiku sudah habis bahkan dalam dua minggu pertama, aku akan kembali pada siklus awal. Bayangkan saja siklus ini terjadi hampir dua tahun lamanya dan menjadi alasan kekhawatiran berlebih yang aku alami ketika aku harus keluar dari pekerjaanku dan melanjutkan studi S2.

Candu itu Bernama Gaji Bulanan

“Tiga kecanduan yang paling berbahaya adalah heroin, karbohidrat, dan gaji bulanan.”

Inilah ada pernyataan Nassim Taleb, akademisi, analis risiko, dan penulis The Black Swan yang dianggap sebagai salah satu dari dua belas buku paling berpengaruh sejak Perang Dunia II oleh The Sunday Times.

Pernyataannya ini tentu menghebohkan, karena siapa pun pasti memahami secara jelas heroin adalah candu berbahaya yang bisa memenjarakan seseorang dalam lingkaran setan berulang. Begitu pula dengan karbohidrat. Semakin kita memakannya, semakin ingin pula kita tidak mau terlepas darinya (ya lihat saja dengan orang Indonesia yang tidak bisa lepas dari nasi).

Namun, gaji bulanan? Sangat jarang ada yang pernah membayangkannya gaji bulanan, uang yang kita terima secara berkala tiap bulan, memiliki efek yang sama dengan heroin.

Bagi pekerja, harus dipahami bekerja dalam bidang tertentu menandakan kita menukar waktu sendiri dengan uang. Gaji bulanan secara berkala adalah imbalan kita atas akumulasi waktu yang kita keluarkan untuk bekerja di bawah instruksi atasan kita.

Imbalan berupa gaji bulanan inilah yang membuat kita terus menginginkannya sebagai balasan dari kompensasi waktu yang telah kita curahkan selama bekerja. Kita tumbuh dewasa dengan mengasumsikan, hasil kerja yang kita berikan di tempat kerja penting atau tidak, berpengaruh atau tidak, akan terus menjamin pemasukan kita. Hal inilah yang kemudian membentuk asumsi, pekerjaan tidak bisa terpisahkan dari kehidupan dan kita tidak bisa hidup tanpanya.

Baca Juga:   Asal Suami Senang: Bias Aturan Perbankan dan Sulitnya Perempuan Punya Usaha

Layaknya heroin, imbalan ini pula memberikan suntikan rasa senang yang luar biasa pada kita. Baik heroin atau sejumlah uang yang kita terima setiap bulan, otak melepaskan hormon yang sama bernama dopamine. Dilansir dari Halo Doc, dopamine atau “hormon bahagia” adalah adalah hormon dan neurotransmitter yang merupakan bagian penting dari sistem penghargaan otak atau reward system.

Ketika terkena stimulus, otak merespon dengan meningkatkan pelepasan neurotransmitter dopamin dan dengan demikian struktur yang terkait dengan sistem penghargaan ditemukan di sepanjang jalur dopamin utama di otak. Hal ini yang memicu rasa bahagia pada diri kita.

Rasa bahagia yang kita dapatkan dari mendapatkan gaji ini membuat kita bisa bertahan dalam pekerjaan yang bahkan kita benci. Dilansir dari Entrepreneur’s Handbook, sama seperti pecandu narkoba, pada gilirannya kita pun dibentuk untuk tidak bisa hidup tanpa dosis regulernya.

Saat kita menerima gaji bulanan, maka kita mendapatkannya dengan cara yang dapat diprediksi dan berulang, dan ini sebenarnya adalah sesuatu yang menenangkan. Kita tidak harus berurusan dengan ketidakpastian menjalankan bisnis dan akan terus mendapatkan euforia rasa bahagia yang sama tiap bulannya.

Oleh karenanya, jika gaji bulanan diambil paksa dari kita, seperti pecandu narkoba, kita akan khawatir berlebihan. Satu-satunya hal yang bisa kita pikirkan adalah mendapatkan pekerjaan lain yang mampu memberikan kita gaji bulanan pula.

Perasaan khawatir dan ketidakpastian yang intens tentang kapan kita akan menerima gaji berikutnya pun juga menjadi alasan yang sama orang merasa takut untuk meninggalkan pekerjaan kita, atas pilihan kita sendiri. Rasa takut kehilangan gaji bulanan membayangi keinginan kita untuk membebaskan diri.

Cara Atasi Kecanduan Gaji Bulanan

Gaji bulanan membuat kita terlalu nyaman untuk melakukan atau terlibat dalam hal lain dalam hidup. Kenyamanan inilah yang dijelaskan dalam Wealth Triumph sebenarnya justru berbahaya bagi kita. Kenyamanan gaji memaksa kita untuk mengonsumsi lebih dari yang kita hasilkan yang bertentangan dengan prinsip utama penciptaan kekayaan.

Kekayaan dalam hal ini tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang bersifat materil, tapi mengacu pada perkembangan diri kita sebagai individu. Ketika kita mendedikasikan diri pada satu pekerjaan dan terlibat dalam siklus adiksi gaji bulanan, kita akan lebih fokus pada konsumsi daripada produksi. Kita terbiasa menerima daripada memberi.

Ketika seorang pecandu mencapai tahap akhir kecanduannya, seluruh hidupnya berputar di sekitar itu. Kecanduannya menjadi prioritas utama dan akhirnya menguasai seluruh hidupnya. Inilah yang terjadi dengan banyak orang dan pekerjaan mereka. Mereka mencapai titik di mana pekerjaan mereka menentukan bagaimana sisa hidup mereka akan dihabiskan.

Hal inilah yang sebenarnya mematikan kreativitas dan kebebasan kita. Padahal sebagai individu kita butuh berkembang. Kita butuh mengembangkan potensi. Bahwasanya, pekerjaan bukanlah satu-satunya yang bisa mendefinisikan diri kita.

Baca Juga: Kriteria Gaji Pasangan Rp250 Juta Tanda Hubungan Transaksional

Karenanya, kita butuh memutus rantai adiksi ini yang bisa dilakukan dengan tiga cara mudah yang dirangkum dalam Business Inquirer:

1. Simplify

Simplify dalam hal ini mengacu pada bagaimana kita harus mulai menyederhanakan gaya hidup kita. Caranya? Melacak pengeluaran kita selama beberapa bulan dan mengidentifikasi barang-barang apa saja yang dapat kita belanjakan lebih sedikit tanpa banyak pengorbanan atau resiko yang harus kita ambil.

Misalnya, di era digital yang memaksa kita untuk berlangganan bulanan layanan streaming kita harus cemar melihat rekam aktivitas kita. Dari berbagai layanan streaming kita lebih banyak menggunakan layanan streaming apa? Coba hentikan layanan streaming yang jarang kamu pakai, dan fokus pada satu atau dua aja yang yang sering kamu gunakan. Atau kita terlalu banyak membeli makan di luar, pakaian, atau barang yang sedang diskon padahal tidak terlalu urgent dibeli, cobalah untuk memberikan bujet ketat terhadapnya.

Jumlah uang yang kita hemat dengan melakukan ini bisa menjadi signifikan, mengurangi adiksi kita terhadap gaji bulanan. Pasalnya, pengeluaran tidak lagi menjadi salah satu alasan kita bergantung pada gaji bulanan.

2. Cari Kesibukan Lain atau Hobi

Adiksi gaji bulanan menawarkanmu kenyamanan yang sering kali membuatmu lupa bahwa manusia tidak bisa hidup stagnan. Ia harus tumbuh agar hidupnya memiliki makna. Karenanya, mulai cari kesibukan atau hobi lain di luar pekerjaanmu.

Kamu bisa mengasah skill baru atau mempertajamnya dengan mencari kesibukan lain, misalnya saja menjadi sukarelawan dalam kegiatan amal. Kamu tidak perlu melakukannya setiap minggu, kamu bisa melakukannya sebulan sekali, karena yang terpenting kamu punya suatu kesibukan yang membuatmu tumbuh. Kamu juga bisa menggeluti hobimu yang sudah lama terbengkalai karena sibuk bekerja.

Kamu bahkan bisa menjadikan kesibukan atau hobimu sebagai sumber mata pencaharian tambahan. Pada gilirannya, kamu pun akan perlahan melepas adiksi gaji bulanan karena hidupmu tidak bergantung 100 persen padanya.

3. Ingatkan Dirimu Bahwa Kamu lebih Berharga daripada Pekerjaanmu

Adiksi yang ditimbulkan karena gaji bulanan menimbulkan rasa ragu pada diri kita untuk berhenti dari pekerjaan atau berganti karier. Salah satunya khawatir teman-teman atau keluarga akan memperlakukan kita secara berbeda ketika tidak lagi memiliki pekerjaan tertentu dengan gaji yang stabil.

Perasaan ini tidak boleh dibiarkan lebih lanjutkan. Kita harus mulai mengingatkan diri kita sendiri bahwa kita lebih berharga daripada pekerjaan kita. Pekerjaan tidak mendefinisikan diri kita sendiri. Kitalah yang mempunyai tugas untuk mendefinisikan diri kita sendiri terlepas dari atribut-atribut seperti pekerjaan, gaji, dan status sosial.

Oleh karenanya, coba ubah mindset kita perlahan dengan terus ingatkan diri kita sendiri untuk tidak usah khawatir berlebih tentang apa yang akan dikatakan orang lain jika kita memutuskan untuk berhenti. Karena pada akhirnya yang terpenting adalah kebahagiaanmu sendiri dan bagaimana kamu bisa melakukan sesuatu yang kamu inginkan atau sukai.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *