Community

Catcalling pada IWD Jakarta 2020: Bagaimana Seharusnya Buruh Pahami Feminisme

Tragedi pelecehan pada aksi IWD mengindikasikan adanya pemahaman keliru yaitu konsentrasi perjuangan perempuan sebaiknya terfokus menumbangkan kapitalisme.

Avatar
  • March 10, 2020
  • 5 min read
  • 109 Views
Catcalling pada IWD Jakarta 2020: Bagaimana Seharusnya Buruh Pahami Feminisme

If I can’t dance I don’t want to be part of your revolution. – Emma Goldman

Tentu saja terkadang semangat massa mendominasi di mana-mana, menghancurkan kualitas. Sebab seluruh hidup kita, mulai dari produksi, politik, dan pendidikan terletak pada kuantitas dan angka. Bahkan seorang pekerja, yang pernah bangga dengan ketelitian dan kualitas kerjanya sendiri, telah digantikan oleh robot demi mengejar jumlah produksi barang.

 

 

Demikian pula dalam organisasi buruh, jumlah kadang hanya kesia-siaan jika tidak disertai kualitas, konsistensi, solidaritas dan perjuangan. Padahal prinsip, cita-cita keadilan, dan kejujuran tidak bisa digantikan oleh angka. Karena jika angka menjadi prioritas, lantas apa beda organisasi buruh dengan politik praktis, misalnya saja demi mendapatkan supremasi kemenangan, berbagai partai politik saling mengalahkan dan menipu, dengan penuh kelicikkan dan penuh intrik untuk mendapatkan suara mayoritas.

Baca juga: Pekerja Perempuan di Padang Tak Tahu Hak Cuti Saat Haid

Gerakan dalam jumlah massa besar kemudian rawan terperosok menjadi mayoritas yang justru turut serta melanggengkan penindasan apabila kurang tuntas mengedukasi internal. Hal tersebut harus menjadi catatan dan segera ditangani sebagai langkah antisipasi terulang kembali. Menjadi evaluasi penting bagi gerakan buruh yang tergabung dalam koalisi #Gerakperempuan pada peringatan International Women’s Day Jakarta 2020. Sungguh patut disesalkan hingga saat ini terus bertambah aduan korban pelecehan yang menimpa peserta aksi aktivis dan feminis perempuan serta kelompok minoritas LGBT (lesbi, gay, biseksual dan transgender) berupa catcalling (mengeluarkan suara godaan) yang dirasa merendahkan, melecehkan dan membuat suasana tidak nyaman untuk bersama-sama melanjutkan aksi IWD. 

Edukasi dan penelusuran watak pelaku pelecehan penting demi menumbuhkan kesadaran emansipasi dan kesetaraan, untuk mengenyahkan sesat watak patriarkal yang memang masih menjadi tabiat mayoritas masyarakat Indonesia. Bukan hanya pada laki-laki, terkadang watak tersebut sudah terkorfirmasi langgeng di sikap tunduk perempuan hingga mewujud suatu mayoritas yang kompak mengutuki kebenaran baru yang disuarakan feminis. Sungguh kontradiktif bagi gerakan pembebasan perempuan itu sendiri.

Padahal, benar adanya persoalan yang dihadapi perempuan selain kapitalisme adalah patriarkal. Patriaki demikian mengakar kuat, secara nyata dan sistematis menindas perempuan pada ranah privat dan publik. Melalui negara, kelompok patriarkal merancang Omnibus law dan RUU Ketahanan Keluarga, kurikulum sekolah yang seksis, aturan jam malam kampus. Pada ranah privat, pelaku patriarkal secara langsung mendiskriminasi dan melucuti hak-hak perempuan, menempatkan perempuan pada posisi inferior dan lemah.

Emma Goldman, seorang anarko feminis, menuliskan dalam buku Ini Bukan Revolusiku sebab-sebab revolusi dan perubahan besar selama ini belumlah menjadi milik perempuan. Ketika patriarki masih menjadi berhala massa, opini publik adalah tiran di mana-mana, ketika nilai patriarkal masih menjadi mayoritas maka akan menjadi sarang bagi individu-individu pengecut, hal tersebut jika dibiarkan akan mewujud menjadi elemen paling buruk bagi psikologi massa gerakan.

Pengecut tidak memiliki individualisme dan tidak mengizinkan individual lain untuk bebas dari penindasan, bahkan untuk hal yang seharusnya mudah seperti cara berpakaian dan pemilihan diksi poster protes. Hal tersebut dikarenakan di sepanjang sejarah hidupnya, mereka tidak memiliki kesempatan untuk berekspresi dan tidak punya kesempatan untuk menyatakan diri secara sehat. 

Menjadi masalah pada aliansi dan persekutuan aksi protes isu perempuan ketika mayoritas massa masih terjebak patriarkal dan mengesampingkan individualitas perempuan. Hal tersebut tentu memotong semangat dan cita-cita perjuangan perempuan.

Silakan melupakan mantan aktivis perempuan Dita Indah Sari yang kini menjadi pendukung kebijakkan negara menyengsarakan rakyat, tapi kenang-kenanglah keberanian buruh perempuan seperti Marsinah. Aliansi jangka panjang akan sulit dibangun jika para buruh tidak segera berada pada kesadaran tentang egaliter dan perjuangan bersama pembebasan perempuan. Sebab, tidak ada pembebasasn masyarakat tertindas tanpa pembebasan perempuan.

Demi penghancuran patriarki, bagaimana pun gerakan perempuan menentang mitos kebajikan berupa keseragaman dan tuntutan tunduk pada aturan seksis. Gerakan perempuan mementingkan orisinalitas diri, aktualisasi individualitas sebagai simbol mereka menolak tunduk pada keseragaman pasar dan kungkungan budaya serta aturan moral patriarkal. Perempuan ingin tampil jujur, memiliki otoritas pada tubuhnya sendiri, spontan, indah, manis, memaksimalkan bakat alami, bersemangat, berani, cerdas, memiliki kemandirian intelektual, tidak menipu diri-sendiri, memiliki tekad tidak berkompromi dari pemaksaan mayoritas yang justru pada akhirnya memundurkan kesadaran dan perjuangan pembebasan.

Namun, dinamika lapangan belum lepas sepenuhnya dari kutukan patriarkal. Seksis dan puritan justru bersandar pada konsep yang tetap, konsepsi yang seolah tak tergerakan oleh perubahan-perubahan. Hal semacam ini mengakibatkan pelecehan-pelecehan yang dialami peserta aksi IWD dihubungkan dengan cara berpakaiannya yang tidak konvensional. Bukan tidak mungkin kutukan patriarkal juga solid menimpa buruh perempuan di tempat kerja, oleh rekan kerjanya sendiri. Kemudian sepulang kerja mereka terperangkap pada situasi pembagian kerja domestik yang tidak berimbang, bahkan akhirnya omong kosong tentang keluarga tidak berhasil memberikan perawatan dasar pada anak-anak mereka sendiri. 

Baca juga: KDRT dan Buruh Perempuan: Rantai Kekerasan yang Sulit Diputus

Tragedi pelecehan pada aksi IWD di mana perempuan dan kelompok termaginalkan menyuarakan tuntutan sekaligus merayakan autentisitas yang penuh warna, sedang puritanisme patriarkal membuat keruh, mengarahkan pada pemahaman keliru yaitu konsentrasi perjuangan perempuan sebaiknya terfokus menumbangkan kapitalisme. Hal tersebut menunjukkan abai pada sisi individualitas untuk kemudian dikontrol seksualitasnya dan jebakan konsep pornografi.

Pada konsep pornografi di kultur patriarkal, dominasi kekerasan seksual dan penghinaan terhadap perempuan digunakan untuk meneror dan mengendalikan perempuan. Menganggap bahwa perempuan adalah pornografi bagi laki-laki dalam arti laki-laki tidak bisa melihat perempuan di luar sebuah kerangka acuan pornografi. Laki-laki secara serentak menyeksualisasikan perempuan dan mendominasi perempuan. Seksualitas adalah media laki-laki untuk mendominasi perempuan. Seperti halnya respons menakut-akuti ala Kominfo pada Tara Basro terkait kampanye body positivity yang katanya bisa saja dijerat UU ITE mengenai konten pornografi. Seperti itulah teror patriarkal berlangsung, bahkan pada puan yang sedang berlawan disalahpahami seolah sengaja sedang memancing pelecehan.


Avatar
About Author

Indiera Hapsari Ratih