Korean Wave

Racun Mitos Kisah Cinta Fantasi dalam Drama Korea

Drama Korea semakin baik kualitasnya, namun masih suka meromantisasi hubungan cinta dan perilaku yang toksik.

Avatar
  • June 4, 2021
  • 4 min read
  • 487 Views
Racun Mitos Kisah Cinta Fantasi dalam Drama Korea

Harus diakui, drama-drama Korea memang sebagus itu. Sayangnya, industri drama Korea atau drakor ini masih belum bisa lepas dari penggambaran hubungan toksik, terutama dari tokoh laki-laki ke perempuan, walaupun ada juga yang sebaliknya.

Saya pertama kali menggemari drama Korea pada 2008 lewat serial-serial yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi swasta Indonesia. Boys Before Flower, Baker King Kim Tak Gu, Bad Guy, sampai Playful Kiss adalah sederet drakor pertama saya, yang memiliki banyak adegan romantis yang kala itu membuat saya geregetan atau bahkan kepikiran berhari-hari.

 

 

Kredit:soompi.com

 

Seiring usia, spektrum drakor yang saya nikmati semakin meluas, terutama ketika sudah mengakses media OTT (over-the-top), alias layanan langsung di internet. Banyak adegan drama yang menjadi awal perkenalan saya dengan industri hiburan Korea Selatan ternyata membuat saya tidak nyaman ketika dewasa.

Sebuah program acara televisi Korea, “Problem Child in The House” pernah membahas betapa “seramnya” romantisasi hubungan toksik di drama Korea. Acaranya berpusat pada lima pengisi acara, termasuk penyanyi Kim Heechul dan komedian Kim Sook, dan mereka harus bisa menjawab 10 pertanyaan yang diajukan oleh produser tanpa mengakses internet untuk mencari jawaban.

Baca juga: Cerita Cinta Toksik Dalam Fiksi: Yay or Nay?

Pada episode 114, topik utama acara adalah tentang kekerasan dalam hubungan yang sering kita saksikan di drama Korea, yang dibahas bersama dua orang psikiater ternama. Mulai dari ciuman paksa, menarik tangan lawan kekasih untuk menghalanginya pergi, serta paling populer adalah kabe don. Ini adalah adegan saat seorang tokoh, biasanya laki-laki, memojokkan pasangan ke tembok dengan satu tangan. Adegan yang mungkin pernah kita saksikan di satu-dua drakor, atau mungkin lebih, yang pernah kita tonton.

Adegan ciuman paksa ini misalnya ada pada drama Fight of My Way, It’s Okay It’s Love, serta Our Gab-soon. Walaupun menuai banyak protes karena menimbulkan ketidaknyamanan pada penonton, adegan pada drama Our Gab-soon tidak mendapatkan teguran dari Komisi Komunikasi Korea (Korean Communication Commission/KCC). Padahal, alih-alih romantis, adegan-adegan ini adalah bentuk kekerasan.

Baca juga: ‘Fetish’ terhadap Hubungan Gay: Ketika ‘Ship’ dan ‘Fanfiction’ Jadi Toksik

Bayang-bayang Kisah Cinta Negeri Dongeng

Dalam tesis berjudul The Evolution of Female Roles in South Korea Dramas, Asya Pambouc dari La Rochelle Université, Paris, menulis bahwa bahwa hubungan tak sehat dalam drama Korea tetap bertahan dengan formula Cinderella Complex, bagaimana tokoh perempuan dipotret memiliki ketakutan menjadi perempuan yang independen. Menurutnya, tokoh-tokoh perempuan ini juga terjebak pada mitos bahwa “laki-laki tidak boleh lebih lemah, muda, miskin, atau tak sesukses perempuan”.

Drama populer Boys Before Flower, misalnya, bercerita tentang seorang siswi miskin bernama Geum Jan-Di yang saling jatuh cinta dengan Gu Jun-Pyo, seorang siswa anak konglomerat sekaligus ketua geng F4 yang kerap menindas siswa lain. Jan-Di, yang tak punya banyak pilihan untuk mencari uang, pernah direkrut bekerja sebagai pelayan pribadi Jun-Pyo. Jun-Pyo (diperankan oleh aktor terkenal Lee Min-Ho) ini kerap berlaku kasar pada Jan-Di karena cemburu, untuk menunjukkan bahwa Geum Jan-Di adalah miliknya.

Kredit: themoviedb.org

 

Lain lagi dengan drama Goblin (2016), yang berkisah tentang makhluk goblin bernama Kim Shin (diperankan oleh Gong Yoo) berumur 999 tahun yang menemukan pengantinnya, siswi 18 tahun bernama Ji Eun Tak (Kim Go-Eun). Kim Shin kerap menggunakan kekuatan magisnya untuk “melindungi” Ji Eun-Tak dari laki-laki dan hantu-hantu pengganggu. Hantu yang sebelumnya tak bosan meneror Eun-Tak satu persatu pergi karena ketakutan dengan eksistensi Kim Shin.

Mengutip Pambouc, romansa toksik di drakor tidak hanya punya Cinderella complex, tapi juga romansa berkekerasan yang kerap dibalut dalam dongeng Beauty and The Beast, bagaimana “cinta seorang perempuan yang baik dan setia dapat mengubah laki-laki dari ‘makhluk buas’ menjadi seorang pangeran”.

Sedihnya, drama populer What’s Wrong With Secretary Kim (2018) juga menggunakan narasi tersebut. Kim Mi-so (Park Min-Young), seorang sekretaris yang yakin bisa mengubah sifat arogan dan terkadang abusive dari bosnya, Lee Young-joon (Park Seo-Joon), terlebih lagi ketika cinta keduanya bersemi.

Namun, tak bisa dipungkiri bahwa pasar kembali berkuasa. What’s Wrong With Secretary Kim mencatat rating yang memuaskan hingga akhir penayangannya, serupa dengan Goblin. Boys Before Flower bahkan sering digadang-gadang sebagai salah satu drakor klasik yang wajib ditonton oleh penggemar hiburan Korea.

Menyadari banyaknya gestur berkategori red flag ini, saya jadi lebih selektif memilih drama Korea. Walaupun drakor-drakor ini hanya hiburan fiksi dan kita merasa baik-baik saja ketika menikmatinya, secara tidak langsung kita membantu melanggengkan narasi toksik industri drama Korea. Menurut saya, menjadi penonton yang bijak tentunya mendorong ekosistem audiens yang semakin sehat. Boleh sih romantis, tapi kalau sudah kelewat batas dan beracun, amit-amit, ‘kan, chingu!

Ilustrasi oleh Karina Tungari 


Avatar
About Author

Saraswati N

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *