Culture

‘Happy Ending Machine’: Novel Ringan Sarat Pesan Soal Remaja Queer

Dikemas secara ringan, novel ini berhasil menyisipkan isu penting seputar ‘queer’ dan LGBT mulai dari melela, homofobia dan maskulinitas toksik, sampai cinta tanpa syarat.

Avatar
  • January 12, 2021
  • 4 min read
  • 830 Views
‘Happy Ending Machine’: Novel Ringan Sarat Pesan Soal Remaja Queer

Bagi yang mencari sebuah novel bertema remaja queer yang ringan dan mudah dibaca, Happy Ending Machine karya Adelina Ayu ini bisa jadi pilihan.

Buku bergenre young adult ini mengisahkan tentang Shailendra, mahasiswa arsitektur yang hidup di dalam lemari alias tidak terbuka dengan seksualitasnya. Sehari-hari, Shailendra memasang topeng agar dirinya tetap aman dari orang tuanya yang homofobik, lingkungan yang tidak ramah dengan kelompok minoritas seksual, dan ketakutan-ketakutan lainnya. Hal ini membuat dia menelan semua keinginannya untuk menjadi diri sendiri, terutama keinginan yang berhubungan dengan pacarnya, Arjuna.

 

 

Hidup Shailendra yang tersusun rapi dan penuh sandiwara berubah saat ia berkenalan dengan Andra, gadis nyentrik dan spontan, berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu berhati-hati. Bersama Andra, Shailendra menemukan kebebasan, rasa sayang, dan keinginan untuk jujur pertama kalinya.

Andra memutar balik rencana Shailendra untuk hidup selamanya di dalam lemari, dan mendorongnya untuk mencicipi setidaknya sedikit kebebasan yang berhak ia dapatkan sebagai seorang manusia. Namun, saat Shailendra akhirnya memberanikan diri untuk melela, Andra malah patah hati karena ia telah terlanjur jatuh cinta pada lelaki itu.

Premisnya memang sederhana dan formulaik, tentang lelaki queer yang mendamba akhir bahagia, dan selalu ada tokoh perempuan yang “membukakan mata” dia soal seksualitas diri.

Tapi Happy Ending Machine menyoroti isu-isu penting dalam hidup orang-orang LGBT: cinta tanpa syarat, hidup di dalam lemari, melela, persahabatan, keluarga pilihan, toleransi, persinggungan dengan toxic masculinity, rasa benci pada diri sendiri, juga tekanan yang dihadapi seseorang karena adanya homofobia.

Baca juga: Sulitnya Jadi Ukhti Queer di Indonesia

“Gue nggak mau kehilangan dan nyakitin orang-orang yang gue sayang. Gue takut mereka lihat gue beda setelah tahu tentang ini. Itu yang sebenarnya paling gue takutin, Ndra. Gue begini atau nggak, gue ya tetap gue. Hal itu nggak bikin gue lantas berubah jadi monster. Gue manusia biasa, sama kayak lo,” ujar Shailendra.

Respons terhadap Teman yang Melela

Novel ini juga memberikan contoh respons yang baik saat kita berhadapan dengan teman yang sedang melela. Hal ini saya rasa penting karena tidak banyak orang, apalagi remaja usia sekolah yang paham dengan isu ini, atau bahkan dilarang bersinggungan dengan tema ini. Saya suka sekali respons karakter Andra dalam novel ini saat ia mendengarkan tentang kesulitan Shailendra, sekaligus menyadari rasa sayangnya untuk lelaki itu.

“Gue tahu kalau Shaien sayang sama gue. Dan gue juga sayang kok sama dia. Cowok itu takut kehilangan gue, dan gue juga enggak mau meninggalkannya. Sudah, titik. Sampai situ saja hal yang perlu gue tahu. Rumah tangganya dengan Arjuna mah bukan urusan gue,” ujar Andra.

Sumber: Instagram @bhuanasastra

 

Saya yakin banyak remaja seperti Andra yang asing dengan seksualitas Shailendra. Yang saya pelajari dari sosoknya adalah, daripada memilih untuk membenci, kita bisa berfokus pada hal yang lebih berharga seperti cinta dan persahabatan. Seksualitas seseorang, sesulit apa pun dimengerti, tidak membuat kita berhak untuk menilai dan menghakiminya.

Selain itu, dari karakter Shailendra, saya bisa menemukan penggambaran orang yang jauh dari stereotip gay. Adelina Ayu memberikan pandangan lain terhadap pembaca bahwa laki-laki gay tidak selalu ngondek dan feminin. Walaupun memang, kalaupun ngondek dan feminin pun, memangnya kenapa?

Baca juga: 5 Novel Indonesia Bertema LGBT yang Wajib Dibaca

Saya juga menghargai usaha penulis untuk menyelipkan karakter transpuan, juga cuplikan tentang kesulitan yang sering dihadapi oleh teman-teman trans di negara yang tidak ramah terhadap minoritas ini.

“Her family might estrange her, and she got nothing but her body as the only thing to offer, despite all the talents she actually had. But still, she was hungry for life and happiness within the world that she wished to recognize her and appreciate her for who she was. Neither as an outsider, nor a sinner. But a woman.”

Pembuka Jalan untuk Pahami Isu LGBT

Menurut saya, novel Happy Ending Machine dapat menjadi pintu pertama untuk para remaja agar lebih sadar akan keberadaan teman-teman LGBT. Eksekusinya membuat mereka tidak harus berpikir ekstra saat mencerna permasalahan-permasalahan yang dihadapi Shailendra.

Novel ini juga dapat menjadi pegangan dan panduan akan bagaimana sebaiknya para remaja bersikap saat bertemu Shailendra di luar sana; dengan melihat seseorang melebihi seksualitasnya, atau minimal, menghargai dia dan tidak mengurusi urusan pribadinya.

Happy Ending Machine juga bisa menjadi teman bagi Shailendra-Shailendra di luar sana, yang suaranya diwakilkan oleh sebuah novel young adult ketika banyak novel bergenre sejenis lebih berfokus pada kisah cinta heteroseksual.

Mudah-mudahan akan ada lebih banyak novel-novel young adult atau teenlit lainnya untuk menyuarakan kisah kelompok minoritas seksual. Dengan begitu, para remaja sejak awal dapat lebih mengerti pentingnya toleransi terhadap siapa pun di sekitar mereka, dan bahwa setiap orang berhak mendapatkan akhir bahagianya.


Avatar
About Author

Lifyanti Khairani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *