Lifestyle

Harta, Takhta, Wanita: Gambaran Buruk Soal Perempuan di Banyak Cerita

Mulai dari cerita di kitab suci sampai sejarah, perempuan sering digambarkan dengan buruk dan menjadi pihak yang salah.

Avatar
  • March 5, 2021
  • 5 min read
  • 806 Views
Harta, Takhta, Wanita: Gambaran Buruk Soal Perempuan di Banyak Cerita

 

Kerap kali perempuan ditempeli dengan berbagai sifat negatif dalam perbincangan-perbincangan di masyarakat. Misalnya, perempuan suka menggoda laki-laki. Lebih buruknya lagi, terkadang perempuan disejajarkan dengan setan. Lihat saja beberapa film horor di mana setan direpresentasikan lewat perempuan cantik yang siap menggoda laki-laki. Sementara, laki-laki digambarkan sebagai makhluk lemah yang tidak dapat mengendalikan nafsunya bila berhadapan dengannya.

 

 

Kita diceritakan bagaimana Hawa membujuk Adam untuk memakan buah apel terlarang dan akhirnya manusia jatuh dalam dosa. Saya kurang setuju pada anggapan bahwa manusia jatuh ke dalam dosa karena ulah Hawa. Saya tak mengerti kenapa takdir sebegitu tidak adil menggambarkan kaum perempuan, bahkan mulai dari cerita di kitab suci.

Perempuan juga terkadang dipandang sebagai biang masalah di dalam sebuah hubungan asmara. Tidak heran kalau istilah pelakor muncul dan sering dipakai untuk merujuk pada perempuan yang merebut pasangan orang. Sementara, tidak ada istilah untuk menyebut laki-laki yang berkelakuan sama.

Ketika muncul orang ketiga dalam sebuah asmara, perempuan sering kali disalahkan, tetapi jarang demikian dengan laki-laki. Padahal, peristiwa perselingkuhan bisa terjadi karena kedua orang tersebut saling suka. Bila memang seorang laki-laki setia, tentu saja ia tidak akan mudah berpaling sehingga tidak ada kaitannya antara perselingkuhan dan perempuan yang dituding menggoda si laki-laki.

Perempuan yang disalahkan juga bisa dilihat juga dari sejarah jatuhnya monarki Perancis. Marie Antoinette dipandang sebagai perempuan yang bertanggung jawab kejatuhan kepemimpinan suaminya, Raja Louis XVI. Bahkan, buku sejarah dan film-film jarang menyoroti kehidupan Louis XVI. Mereka lebih berfokus membahas mengenai Marie Antoinette yang digambarkan sebagai suka berpesta, boros dan lagi-lagi, cantik. 

Gambaran Perempuan: Cantik atau Tidak Cantik Tetap Dikritik

Saking cantiknya Marie Antoinette, saya pernah membaca bahwa Mozart cilik sempat berujar kepada Maria Theresia, ibu Marie Antoinette, bahwa ia mau menikahi putrinya ketika dewasa kelak. Ini menunjukkan bahwa kecantikan putri, ratu, atau permaisuri sering kali menjadi pusat perhatian para penulis sejarah sejak dulu. Lain cerita dengan penggambaran para raja dan kaisar.

Baca juga: Stigma Negatif Perempuan Ambisius Hambat Perkembangan Karier Perempuan

Saya hampir tidak pernah membaca bagaimana penggambaran raja-raja atau kaisar yang dikagumi karena ketampanannya. Raja selalu dipuja karena kekuasaannya dan kecerdasannya dalam mengatur kerajaannya, atau bagaimana hebatnya ia setelah memenangi perang.

Memang ada juga sosok perempuan pemimpin yang dipuja karena kecerdasannya, tapi hanya sedikit saja. Misalnya, Catherine The Great yang memberikan kejayaan pada Rusia dulu. Namun, penggambaran kebesaran sosoknya masih kalah dengan deretan kaisar dan raja lain yang mendominasi cerita sejarah di berbagai belahan dunia.

Fokus berlebih pada kecantikan perempuan terlihat juga dari cerita Cleopatra VII. Kecantikannya dianggap dapat menaklukkan Romawi yang ketika itu dipimpin oleh Julius Caesar. Lebih sedikit literatur yang membahas soal kepemimpinan Cleopatra VII dan bagaimana membuat Mesir menjadi makmur. Orang-orang lebih suka menyoroti fisiknya dan bagaimana ia bisa membuat Julius Caesar jatuh hati kepadanya. Sekali lagi, perempuan dalam kisah Cleopatra VII digambarkan seorang penggoda.

Cerita Cleopatra VII yang konon sangat cantik itu pada akhirnya membuat kisah-kisah kepemimpinan ratu Mesir lainnya tenggelam, misalnya tentang Nefertiti. Kepemimpinannya juga membawa Mesir kepada kejayaan dan bisa jadi Mesir lebih berjaya di bawah Ratu Nefertiti dibandingkan saat dipimpin Cleopatra VII.

Perkara kecantikan perempuan ini menjadi suatu simalakama sebenarnya. Di satu sisi, bagi para perempuan yang tidak cantik, walaupun mereka berprestasi, mereka seakan dianggap kurang. Mungkin memang benar masyarakat selalu memihak pada orang-orang good-looking. Bahkan, untuk mencari pekerjaan saja salah satu persyaratannya adalah “berpenampilan menarik” yang kemudian sering dikerucutkan menjadi berberat badan dan tinggi sekian.

Baca juga: ‘Perempuan Selalu Benar’ Sebuah Generalisasi Seksis

Ironisnya di lain sisi, ketika seorang perempuan dianggap cantik dan ia dianggap kurang berprestasi, orang-orang juga kerap berkomentar,“Yah, muka doang cantik otak enggak ada”. Familier dengan istilah “stupid blonde”? Ini adalah salah satu ungkapan yang mencerminkan sikap negatif masyarakat terhadap perempuan cantik yang kurang berprestasi atau dianggap bodoh.

Saya sendiri sepakat dengan istilah “cantik itu luka”. Standar kecantikan yang ada di masyarakat itu bias. Perempuan berlomba-lomba mengikuti standar masyarakat yang justru membuat dirinya menderita dan kehilangan jati dirinya sendiri. Padahal, ia dapat menjadi lebih berarti bila menjadi dirinya sendiri tanpa mengikuti standar tidak realistis yang ada di masyarakat. 

Perempuan Selalu Dijadikan Objek

Tidak hanya sering disalahkan atas berbagai hal dan dipermasalahkan karena kecantikannya, perempuan juga dipandang seolah properti. Sebagai contoh, ada ungkapan “Harta, Takhta, Wanita” yang sering kita dengar dalam keseharian. Bahkan belakangan ini, banyak juga yang mengganti kata “wanita” dengan nama seseorang, misalnya saja “Harta, Takhta, [Chef] Renatta” yang dilontarkan Chef Arnold dalam tayangan Master Chef tahun lalu.

Walaupun ungkapan tersebut sering dianggap sekadar lucu-lucuan saja, namun sesungguhnya hal ini merupakan sebuah ironi. Ketika perempuan disejajarkan dengan harta dan takhta, ini membuktikan bahwa secara tidak langsung, perempuan dianggap sebagai objek oleh masyarakat. 

Tidak hanya itu, bagi sebagian orang, harta, takhta, dan wanita bisa saja membawa seseorang pada kehancuran ketika ia terobsesi pada tiga hal itu. Sekali lagi, perempuan dianggap sebagai sumber masalah yang dihadapi laki-laki, sekalipun mungkin sebenarnya ia tidak melakukan salah apa pun.  

Ungkapan “Harta, Takhta, Wanita” mungkin hanya dibuat oleh para laki-laki kolot yang tidak ingin mengakui egonya sendiri. Saya tak ingin menyerang laki-laki. Kenyataannya, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama punya ego. Tetapi, saya jadi sepakat dengan seorang teman saya yang mengatakan bahwa seharusnya diganti menjadi “Harta, Takhta, dan Ego”.


Avatar
About Author

Katharina Stogmuller

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *