Korean Wave

Industri K-Pop Memang Toksik, Tapi Kritik Terhadapnya Suka Salah Sasaran

Kritik dan ujaran kebencian pada industri K-Pop dan para penggemarnya suka salah sasaran.

Avatar
  • February 10, 2020
  • 8 min read
  • 720 Views
Industri K-Pop Memang Toksik, Tapi Kritik Terhadapnya Suka Salah Sasaran

Baru-baru ini, akun Twitter milik salah seorang musisi dalam negeri di-suspend. Diduga, para penggemar K-Pop punya peran dalam hal ini. Mereka melaporkan cuitan berikut:

 

 

Saya menikmati budaya pop Korea atau K-Pop sejak 2008. Saya tahu bahwa sebagai industri K-Pop memang masih (sangat) toksik. Tapi saya juga melihat bagaimana cuitan di atas sangat bermasalah.

Pertama, bagaimana cara K-Pop dengan “laki-laki cantiknya” melakukan pembodohan? Mungkinkah, secara tidak sadar (atau malah sadar), musisi ini masih menganut paham usang patriarki di mana perempuan bernilai lebih rendah dari laki-laki, dandan cantik hanyalah untuk perempuan, maka ketika laki-laki berdandan cantik, nilai mereka sebagai laki-laki jadi jatuh karena mereka seperti perempuan?

Standar kecantikan di Korea Selatan memang sangat tidak masuk akal. Warganet di sana dengan sangat mudahnya mengomentari wajah para K-Pop idol jelek, ketika sebenarnya, bahkan menggunakan “standar kecantikan yang umum”, mereka tidak jelek sama sekali bahkan tergolong cantik. Saya kira, inilah masalah sesungguhnya dari standar kecantikan di Korea Selatan. Bahwa sebenarnya “tidak pernah ada standar”.

Seorang idola akan selalu mendapat komentar berwajah jelek dan masih dikritik ketika melakukan operasi plastik padahal hasilnya bagus (atau dituduh melakukan operasi plastik padahal mereka hanya melakukan permainan rias wajah). Mereka juga akan dikritik terlalu gemuk ketika sudah menambah berat badan, dan terlalu kurus ketika sudah melakukan diet.

Beberapa idola bahkan mengaku standar berat tubuh yang ketat diatur oleh agensi yang menaungi mereka. Dalam sebuah video V Live (kanal video siaran langsung di Korea Selatan), beberapa anggota girl group TWICE bercerita bagaimana orang-orang di agensi mereka terkejut ketika berat badan mereka naik 1 kilogram (atau bahkan tidak sampai 1 kilogram) dari batas berat badan maksimal yang diperbolehkan. Kemudian mereka diperintahkan untuk melakukan diet.

Wendy, salah seorang personil girl group Red Velvet, pernah dikomentari gemuk. Ketika dia akhirnya melakukan diet, orang berkomentar tubuhnya terlalu kurus. Bagusnya, banyak komentar kurus tersebut yang mengarah ke rasa khawatir karena di salah satu konser, ketika Wendy mengenakan crop top alias kaos ngatung, penonton bisa melihat jelas bentuk tulang rusuk Wendy. Di kasus yang berbeda, salah seorang anggota boy grup pernah berkata di televisi bahwa laki-laki boleh gemuk sedangkan perempuan tidak.

Baca juga: Fanatisme atas K-Pop dan Opresi terhadap Perempuan

Kembali ke cuitan si musisi Indonesia, “laki-laki berdandan cantik” sama sekali bukan masalah yang harus dikritik dalam standar kecantikan Korea Selatan. Yang harus dikritik adalah bagaimana definisi cantik atau tampan itu berarti kulit putih, dagu yang lancip, pipi tirus, mata lebar, mengenakan rias wajah saat hendak ke luar rumah walau hanya sebentar, (sangat) langsing bahkan kurus, dll. Standar ini bahkan tidak hanya “berlaku” untuk mereka yang bekerja di industri hiburan, masyarakat awam pun menerapkan standar tersebut di kehidupan sehari-hari.

Kedua, bahwa musisi K-Pop tidak mengajak kita berpikir kritis adalah pernyataan yang tidak benar. Tapi sebetulnya musik itu tidak HARUS mengajak kita berpikir kritis. Musik bisa dan boleh hanya berfungsi sebagai hiburan. Meski demikian, artis-artis K-Pop ADA kok yang mengajak kita berpikir kritis. Salah satunya girl group MAMAMOO. Dalam lagu “Yes I Am”, MAMAMOO mengkritik standar kecantikan Korea Selatan dengan mengekspresikan bagaimana mereka mencintai diri mereka sendiri apa adanya. Hal itu tergambar dalam lirik, yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi seperti berikut:

Makeup is light, ‘cause I’m lazy
I won’t show skin, no need to do that
It’s strange, I’m a bit unique
I don’t like ordinary things
I thank my parents for this side of me

dan lirik berikut:

I like comfort ‘cause that’s just me
I won’t sugarcoat, I can’t hide it
I’m cheeky, I don’t care
You don’t know me
I just do what I wanna do“.

Mengenakan rias wajah yang tipis dan berpipi tembam bukanlah sesuatu yang dianggap cantik di Korea Selatan, tapi mereka bercerita bahwa mereka tetap percaya diri meski tidak memenuhi standar kecantikan di masyarakat. Dalam lagu terbaru mereka, “HIP”, MAMAMOO bahkan menyentil haters mereka lewat lirik-lirik seperti:

Beep beep beep it becomes a controversy, my fashion
I don’t care much, it’s just another action
Keep on click me click me, like you’re possessed, zoom
Close up close up close up

dan

Thank you to everyone who provokes me
Losers who stopped there, right back at you
Thanks to you, my mentality is strong
I’m gonna go make the next album“.

“Laki-laki berdandan cantik” sama sekali bukan masalah yang harus dikritik dalam standar kecantikan Korea Selatan. Yang harus dikritik adalah bagaimana definisi cantik atau tampan itu sendiri.

Dalam video musiknya, MAMAMOO bahkan menampilkan adegan yang merujuk pada salah satu komentar negatif yang diterima salah satu anggotanya, Hwasa, yang tidak mengenakan beha ketika berada di bandara (tentu kita tidak betulan bisa melihatnya, tapi Hwasa sendiri menjelaskan hal tersebut ketika berbincang dengan para penggemarnya). Dari musik videonya, kita mendapat pesan bahwa ketika menjadi seorang presiden pun, kita tetap tidak akan lepas dari nyinyiran warganet.

Tak hanya MAMAMOO, girl group yang baru muncul awal 2019 lalu, ITZY, lewat lagu mereka “DALLA DALLA” dan “ICY”, juga menyampaikan pesan tentang kepercayaan diri dan mengabaikan komentar negatif. Boy group yang sangat populer di seluruh dunia, BTS, juga punya lagu dengan tema serupa lewat lagu berjudul “Idol”, terutama di lirik berikut:

They point fingers at me
But I don’t care at all
Whatever the reason for your criticism is
I know what I am
I know what I want
I never gon’ change
I never gon’ trade

(Trade off)

Keep on chit-chatting, saying this and that
Talkin talkin talkin
I do what I do, so you do you
Dirty dirty
You can’t stop me lovin’ myself

Nama-nama dan lagu-lagu di atas hanyalah beberapa contoh. Saya kira, kalau kita mau mencari dan mendengarkan lebih banyak lagi, kita akan menemukan lagu-lagu K-Pop yang membuat kita “berpikir kritis”. Mencintai diri sendiri dan mengacuhkan komentar negatif adalah hal yang sangat penting, terutama di Korea Selatan. Karena komentar negatiflah, Goo Hara dan Sulli, mantan personil dari dua grup K-Pop yang berbeda, bunuh diri di tahun 2019.

Bukan hanya melanda idola, ujaran kebencian juga terjadi pada semua orang di kehidupan sehari-hari. Mungkin levelnya sangat tinggi di Korea Selatan, tapi ujaran kebencian juga terjadi di semua negara di dunia. Maka adalah penting untuk terus menerus menggaungkan rasa cinta diri dan kepercayaan diri. Dan musik, termasuk dan terutama K-Pop, bisa jadi media yang pas untuk menaungi tema ini.

Ketiga, saya tidak melihat ganja dan K-Pop sebagai perbandingan yang apple to apple. Mungkin tidak jadi masalah ketika cuitan musisi tersebut adalah “Yang bikin orang pinter selain sekolah dan perpustakaan gratis itu, ganja. Maka saya rasa akan baik kalau ganja dilegalkan”. Mungkin kalimat tersebut tidak akan terasa masalah, tapi saya pribadi gagal melihat hubungannya dengan K-Pop. Karena K-Pop bisa bikin “pintar” kalau kita mau menganalisis dan mendengarkan lebih banyak. Yang jelas K-Pop tidak melakukan pembodohan.

Baca juga: Film ‘Joker’, Kematian Sulli, dan Gagal Paham Tentang Gangguan Mental

Seperti yang saya bilang di awal tulisan ini, saya tahu secara industri K-Pop itu toksik. Bukan hanya di standar kecantikan. Beberapa kelompok idola juga dilarang berpacaran bahkan dilarang punya ponsel selama setidaknya satu atau dua tahun.

Selain itu, banyak agensi yang menggunakan sistem pelatihan. Banyak orang yang memulai masa pelatihan sebagai idola K-Pop sejak usia sekolah dasar, yang kemudian membuat kehidupan sosial mereka jadi kurang terasah dengan baik. Bahkan ada beberapa kasus di mana ketika para trainees sudah disortir, mereka masih diadu dalam sebuah ajang kompetisi.

Misalnya TWICE, yang adalah hasil bentukan ajang kompetisi bernama SIXTEEN. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Jihyo jika seandainya dia tidak lolos padahal sudah menjalani masa latihan selama 10 tahun. Untungnya dia pada akhirnya lolos sekaligus menjadi pemimpin TWICE.

Tapi aturan-aturan tersebut, meski sangat perlahan, mulai bergeser.  Kelompok idola yang masih tergolong baru tidak dibentuk dari orang-orang yang menjalani masa latihan sangat panjang. Beberapa ditemukan lewat audisi lalu menjalani masa latihan yang cukup singkat (setidaknya tidak selama generasi pendahulunya). Beberapa grup juga “memberanikan diri” untuk bubar atau beberapa anggota mengundurkan diri dan speak up tentang apa yang terjadi pada grup dan agensi mereka ketika ada masalah (misalnya yang terjadi pada 2NE1 dan MOMOLAND).

Musisi “X” yang cuitannya saya maksudkan dalam tulisan ini, di akun instagramnya juga membagikan video yang bersumber dari YouTube yang berjudul “everything wrong with K-Pop” dan buat saya, video itulah kritik yang sesungguhnya karena apa yang ada di video tersebut benar adanya.

Seandainya saja musisi “X” ini dari awal hanya membagikan tautan YouTube tersebut (dengan mungkin menambahkan sedikit komentar rasa setuju), saya rasa tidak akan jadi masalah.

Satu lagi yang toksik dari K-Pop adalah (beberapa) penggemarnya yang anti-kritik tapi bisa begitu jahatnya menghina grup lain yang bukan idola mereka. Tapi saya kira aksi melaporkan cuitan di atas, yang berujung pada penonaktifan akun oleh pihak Twitter, bukan tergolong hal yang buruk.


Avatar
About Author

Budi Winawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *