Gender & Sexuality

Kesenjangan Upah Gender: Masalah yang Tak Kunjung Tuntas, Apa Sebabnya?

Kesenjangan upah antara pekerja perempuan dan laki-laki masih menjadi permasalahan global. Kok tak kunjung tuntas?

Avatar
  • September 19, 2022
  • 5 min read
  • 430 Views

 

Upah bulanan x.

 

Di penjuru dunia, perempuan dibayar lebih sedikit dari laki-laki dengan jarak upah berada di kisaran 20 persen. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan terhalang oleh hubungan kekuasaan yang tak berimbang yang kuat mengakar dalam sejarah, serta hambatan akses terhadap sumber daya dan peluang. UN Women menggarisbawahi bahwa “motherhood penalty” masih kerap ditemukan di negara berkembang, dan ini menyeret perempuan ke dalam jurang kemiskinan.

 

 

Hal yang sama pun masih ditemukan di Indonesia.

Data yang dihimpun Statista menunjukkan Indonesia berada di paruh bawah dari indeks kesetaraan upah global. Di ASEAN, Indonesia hanya berada di atas Malaysia dan Myanmar.

Data yang diolah dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), dikaji secara berkala oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa rata-rata jarak kesenjangan upah bulanan antara tenaga kerja laki-laki dan Indonesia selama satu dekade terakhir berada di kisaran 26,4 persen, atau di atas rata-rata dunia. Selama periode tersebut, tidak ada perkembangan yang berarti.

Baca juga: Hari Kesetaraan Upah Perempuan Kulit Hitam: Peringatan akan Kesenjangan

Tingkat Pendidikan Masih Pegang Peranan Besar

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan pegang peranan dalam kesenjangan antara upah perempuan dan laki-laki. Ini membuat perempuan tidak mendapatkan kesempatan yang sama dalam berkarier atau mendorong mereka masuk ke sektor informal, yang mempengaruhi upah yang mereka terima tiap bulanannya.

Data BPS yang memperlihatkan bahwa laki-laki cenderung lebih lama mengenyam bangku pendidikan dibandingkan dengan perempuan mendukung temuan ini.

Baca juga: Kesenjangan Gender di Tempat Kerja Tinggi, Perlu Ada ‘Affirmative Action’

Sebuah studi yang dilakukan oleh World Bank pada 2020 menunjukkan bahwa terdapat berbagai alasan yang menyebabkan perempuan untuk putus sekolah atau tidak mengejar pendidikan yang lebih tinggi.

Sementara kemiskinan menjadi faktor putus sekolah paling tinggi baik bagi laki-laki maupun perempuan, pernikahan anak yang hingga kini masih menjadi permasalahan besar di Indonesia menjadi alasan terbesar yang membuat perempuan meninggalkan bangku pendidikan.

Data dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa 12 persen dari perempuan yang tidak melanjutkan pendidikan berhenti bersekolah karena menikah, jauh dibandingkan dengan laki-laki (0,37 persen) yang putus sekolah karena alasan yang sama. Sekitar 3 persen dari perempuan yang berhenti sekolah keluar dari jenjang pendidikan karena harus mengurus rumah tangga.

Sebuah studi menyatakan bahwa penyebab rendahnya pendidikan pada perempuan juga diakibatkan dari kurangnya pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ini juga didukung oleh temuan dari penelitian World Bank yang menunjukkan bahwa 5 persen perempuan putus sekolah karena dianggap telah cukup mengenyam pendidikan, dibandingkan 4 persen pada laki-laki.

Apakah Pendidikan Satu-satunya Biang Keladi?

Namun, temuan lain menunjukkan bahwa tingkat pendidikan bukan satu-satunya yang membuat perempuan mengantungi upah yang lebih kecil dari laki-laki.

Laporan dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) dan UN Women pada 2020 menunjukkan bahwa walaupun berada pada jenjang pendidikan yang sama, perempuan tetap memperoleh bayaran yang lebih sedikit dari laki-laki.

Sebuah tulisan di The Conversation Indonesia pernah mengulas bahwa bagi mereka yang berusia 30 tahun dan ke atas, baik laki-laki maupun perempuan cenderung mendapatkan upah yang setara selama keduanya berusia sama, memiliki lama pengalaman kerja sama, dan memiliki tingkat pendidikan yang sama serta bekerja di bidang yang sejenis.

Hanya, banyak perempuan yang berhenti bekerja sebelum mencapai tahap tersebut. Perempuan yang memiliki anak biasanya tidak lagi fokus pada kariernya karena beban mengasuh anak biasanya jatuh kepada mereka.

Tulisan lainnya menggarisbawahi bagaimana dalam dunia kerja, laki-laki kerap dianggap pekerja ideal yang tepercaya dan bisa diandalkan. Mereka, terutama yang secara formal telah menyandang status ayah, bisa mendapatkan tawaran gaji yang lebih besar atau yang biasa disebut dengan “fatherhood wage premium” (gaji premium ayah).

Baca juga: Kesenjangan Upah di Indonesia Lebih Banyak pada Perempuan di Bawah 30

Sementara, perempuan lebih susah mendapatkan pekerjaan karena dianggap berstatus rendah, apalagi jika mereka sudah menjadi ibu. Mereka seringkali dianggap kurang komitmen dan kurang punya kapasitas soal pekerjaan, terutama ketika dihadapkan dengan tumpukan persoalan rumah tangga dan mengurus anak. Diskriminasi terhadap ibu sudah lama dikenal dengan istilah “motherhood penalty” (hukuman para ibu).

Ini turut mempengaruhi angka partisipasi perempuan di dunia kerja.

Jika kita melihat data kesenjangan pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita berdasarkan gender, populasi perempuan hanya menghasilkan sekitar US$ 7.906 (Rp 118,31 juta) per tahun, atau setengah dari populasi laki-laki yang menghasilkan US$ 14.976 tiap tahunnya. Mengingat PNB per kapita ini merupakan akumulasi pendapatan dibanding dengan keseluruhan jumlah populasi, artinya di sini tingkat partisipasi perempuan dalam dunia kerja di Indonesia masih minim peningkatan.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah

Studi World Bank merekomendasikan pemerintah untuk melakukan analisis di level subnasional, mengingat tiap-tiap daerah memiliki kecenderungan partisipasi perempuan di tingkat pendidikan dan lapangan kerja yang berbeda-beda. Angka pernikahan anak, misalnya, lebih tinggi di satu wilayah dibandingkan wilayah lainnya, tergantung budayanya.

Selain itu, studi tersebut juga merekomendasikan pendidikan yang sensitif gender. Sebab, walaupun murid perempuan dianggap lebih berprestasi di kelas, studi tersebut masih menemukan staf pengajar yang kurang peka terhadap gender dan menegaskan pentingnya membangun paradigma ini di level pendidik. Ini bisa membuat guru mendorong pemahaman yang bebas bias dan stigma dalam pengajaran, serta mendorong siswa perempuan lebih aktif berpartisipasi dan mengembangkan keterampilan.

Di level perusahaan, pembuat kebijakan sebaiknya berbagi banyak pengetahuan terkait cara-cara menghadapi kesetaraan gender, serta memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak membuat perusahaan-perusahaan malah terdorong untuk tidak mempekerjakan perempuan.

Pemerintah Indonesia juga dapat menggunakan pendekatan budaya yang dilakukan Islandia, negara dengan tingkat kesetaraan gender tertinggi. Islandia menekankan gagasan “perempuan tangguh” serta kesetaraan hak dan kewajiban di antara laki-laki dan perempuan. Baik ayah maupun ibu di Islandia memiliki hak cuti sebagai orang tua dan keduanya dapat membagi tanggung jawab dalam mengasuh anak.

Perlu diingat, kesetaraan gender berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi.

Studi World Bank menunjukkan bahwa keragaman di tempat kerja meningkatkan produktivitas hingga 40 persen, sementara kajian ILO membuktikan bahwa keragaman bisa mendongkrak keuntungan perusahaan hingga 20 persen.The Conversation

 

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Avatar
About Author

Anggi M. Lubis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *