Culture Prose & Poem

Lemari dan Pelakor

Seorang perempuan muda mengonfrontasi selingkuhan ayahnya dalam cerita pendek yang liris ini.

Avatar
  • August 12, 2020
  • 8 min read
  • 414 Views
Lemari dan Pelakor

Sekilas pandang, tak ada yang aneh dengan dua perempuan yang duduk berhadap-hadapan di meja kafe itu. Meskipun tak ada kemiripan raut, kulit, maupun rambut, orang bisa saja menyangka perempuan 36 tahun itu kakak si gadis yang lebih muda tiga belas tahun darinya. Keduanya menikmati minuman dengan cara masing-masing. Yang lebih dewasa mengangkat cangkir teh kamomilnya dengan anggun, kelingkingnya otomatis menekuk ke atas, sementara dua ruas jemari si gadis menyembul dari lengan kardigan krem yang dikenakannya, meminjam kehangatan dari cokelat panas yang mengepul di mukanya untuk menghalau hawa dingin AC yang terasa semakin menusuk seiring hujan yang makin lebat di luar.

Sudah lima menit mereka duduk bersama, tapi tak sepatah kata pun mereka pertukarkan. Lonceng mini di atas pintu berdenting. Seorang ayah muda masuk bersama bayi dalam gendongan di dadanya, sementara tangan kanannya mendorong kereta bayi yang penuh barang belanjaan. Ayah muda itu menyapa seorang ibu sepuh yang tengah memilih kue di etalase.

 

 

“Ehhh, Mama mana? Kok cuma sama Papa? Loh, Mama lagi belanja? Ini yang di kereta bukan belanjaan Mama semua? Masih kurang, ya? Papa yang tiap hari sibuk kerja, libur-libur jadi harus jaga anak juga ya? Mama mah enak, tinggal buang-buang duit Papa, ya? Iya, iya, iya?”

Semua itu diucapkan dalam nada celoteh riang nenek kepada cucunya. Bibir keriput itu tersenyum lebar dan tangannya memegangi jemari gemuk si bayi, mengangguk-angguk meniru gerakan kepala si bayi. Ayah muda hanya tersenyum masam, dan langsung keluar kafe setelah menerima bungkusan pesanannya.

“Jadi perempuan tuh berat, ya?” ujar Lingga tanpa menatap gadis belia di seberangnya, sehingga terkesan sedang bicara sendiri.

“Jadi istri tiap hari capek ngurusin anak dan suami, giliran dia punya me time dibilang buang-buang duit suami. Tapi kalau suaminya selingkuh, dibilang salah sendiri karena dia enggak ngurus diri. Giliran enggak nikah tapi dipacarin suami orang dikatain pelakor, pencuri laki orang. Padahal lakinya sendiri yang nyari pacar, kenapa perempuannya yang dituduh mencuri? Aneh.”

Ina mendongak mendengar kalimat terakhir.

“Itu pembelaan dirimu, Mbak?” tanyanya sinis. “Papaku yang nyari pacar jadi Mbak enggak salah karena mau dipacari pria beristri?”

Lingga menggeleng. “Aku enggak membela diri. Kalau aku salah, logikanya papamu lebih salah lagi, dong, karena sudah beristri tapi masih cari pacar?”

“Tapi Mbak kan seharusnya tahu papaku sudah berkeluarga,” sergah Ina.

“Kenapa seharusnya aku yang tahu papamu sudah berkeluarga? Papamu sendiri tahu dia berkeluarga, kan?” sergah Lingga sengit. “Kalau mau adil, alih-alih mengatai perempuan sepertiku pelakor, seharusnya pria macam papamu yang disebut lakorgat. Laki-orang gatelan,” tandasnya.

Meskipun enggan, Ina terpaksa mengakui Mbak Lingga ada benarnya. Affair macam ini merupakan kesalahan kedua belah pihak, terutama pihak yang sudah menikah. Tapi coba jelaskan sudut pandang itu ke istri yang sudah seperempat abad lebih menepati ikrarnya kepada suaminya: dalam susah dan senang, dalam sakit dan sehat, sampai maut memisahkan mereka. Istri mana yang tak limbung kalau tahu fondasi hidupnya diusik? Ina kembali menekuri mug yang sudah mulai kehilangan daya hangatnya.    

“Bagaimana dia akhirnya tahu?” tanya Lingga hati-hati.

Ina mendongak. “’Dia’? Mamaku, maksud Mbak? Tenang, mamaku enggak tahu soal dirimu, Mbak. Aku juga enggak berencana memberitahunya.”

Giliran Lingga yang kini mengernyit. Ina menatap wanita itu dan tanpa bicara, ia merogoh tas dan meletakkan sesuatu di tengah-tengah meja.

Deg. Lingga akan mengenali ponsel biru itu di mana pun. Ponsel yang San beli khusus untuk menghubunginya. Tapi setahunya San selalu meninggalkan ponsel itu di kantor supaya tidak memancing keributan dengan istrinya. Pesan dari ponsel itulah yang membawanya datang ke sini hari ini.

Kita perlu bicara. Aku tunggu di kafe Le Rêve jam 11.

Ia tahu pertemuan ini tidak akan berakhir baik. Ia menduga San ketahuan istrinya dan berniat mengakhiri hubungan mereka, atau mungkin San hanya sudah bosan padanya. Apa pun itu, ia sudah siap menghadapi skenario terburuk.

Namun, ia jelas tidak siap ketika pesan yang disangkanya dari San malah mempertemukannya dengan Marina, yang selama dua bulan terakhir bekerja paruh waktu di kantornya sebagai asisten sekretarisnya. Gadis itu selalu sopan dan ramah tiap kali bertemu dengannya di kantor, tapi sejak tadi bibir bersapu lipstik matte warna coral itu lebih sering menekuk masam.

“Aku anak San,” itulah kalimat pembuka Ina di awal pertemuan mereka.

Lalu petir tahu-tahu membelah langit dan guruh menggelegar menggetarkan kaca-kaca kafe. Kalau ini film India, kamera hanya perlu zoom in dan zoom out wajah Lingga untuk menunjukkan betapa mengejutkan informasi tersebut baginya.

Perasaan pertama yang berkelebat dalam hatinya adalah malu. Malu?! jerit akalnya. Kenapa ia harus malu? Apa yang dimilikinya bersama San bukan hal memalukan. Ia tidak akan menyebutnya “cinta” seperti jalinan asmara anak remaja, tapi ia juga tidak akan menamainya “affair” seolah-olah itu dosa. Ia dan San memiliki “hubungan” karena mereka terhubung dalam setiap tingkatan nalar, emosional, pun fisik. Ia jelas tidak akan malu karenanya.       

Ia juga menolak perasaan bersalah yang mengantre di belakang rasa malu itu. Toh ia bukannya sengaja menggoda pria berkeluarga yang umurnya lebih tua dua puluh tahun darinya. Dari dulu ia mencintai pekerjaannya, mencintai kemerdekaan, kenyamanan, serta semua manfaat yang bisa dipetik dari pekerjaannya. Life is already great. Bahwa ia kemudian bertemu San, iseng-iseng ngopi bareng tapi kemudian kecocokan kepribadian membuat mereka melanjutkan hubungan, yah, itu pilihan yang sama-sama mereka berdua ambil. Komplet dengan semua risiko. Ketahuan istri dan/atau anak San adalah salah satunya.

“Kamu tahu dari mana?” tanyanya.

“Aku melihat kalian di salah satu mal kecil di Jakarta Utara, sedang mengantre masuk resto. Kalian mesra banget, pakai acara gandengan tangan segala, jadi aku enggak mungkin salah menebak hubungan kalian. Aku juga langsung mengenali Mbak karena, yah, kita akui saja, Mbak tuh perempuan paling menonjol dalam foto bersama yang diunggah ke medsos kantor konsultan Papa. Jujur, nih, waktu melihat foto itu aku sempat mikir, Mbak adalah goal-ku waktu aku seumur Mbak nanti. Gila aja, hampir kepala empat masih sebening ini. Hebat banget, cuy,” Ina mengacungkan kedua ibu jari tangannya.    

 Ah. Seminar yang dibawakan San di kantornya. Kali pertama ia bertemu San.

“Lalu, kantor Mbak memasang iklan lowongan kerja paruh waktu di kampusku karena sekretaris Mbak mau cuti melahirkan. Buru-buru aku mendaftar, eh diterima! Bayangin, aku kerja persis denganmu, Mbak, duduk persis di depan ruanganmu. Mungkin begini ini yang disebut semesta mendukung, ya?” Ina terkekeh hambar.

“Tapi aku enggak pernah mendapatkan bukti hubungan kalian. Sampai suatu siang, karena Mbak dan sekretaris Mbak lagi rapat, telepon ke ruangan Mbak yang enggak terjawab dialihkan ke meja sekretaris, jadi aku yang mengangkat. Aku sempat tertegun waktu mengenali suara Papa, untungnya aku dengan sigap langsung menyamarkan suara. Papa menitip pesan dengan nada kaku dan misterius: Lemari sudah jadi, siap diantar ke apartemen nanti sore. Itu jelas kode. Kenapa ‘lemari’, aku enggak ngerti. Yang jelas, akhirnya Papa sendiri yang memberikan bukti yang selama ini kucari.”

“Lantas, apa kau mengonfrontasi papamu tentang hubungan kami, membuatnya memutuskan mengabaikan semua pesan dan telepon dariku dan malah mengirimmu buat mengakhiri hubungan kami?” tanya Lingga pahit.

Kedua alis Ina yang melengkung indah terangkat tinggi. “Apa Mbak benar-benar berpikir papaku bakal sesadis itu? Sepengecut itu?” Nadanya agak defensif.

Lingga menggeleng-geleng. “Setelah seminggu dianggap angin, aku tak tahu lagi harus berpikir bagaimana tentang papamu.”

“Mungkin dia punya alasan kuat untuk mengabaikan Mbak.”

“Alasan apa?”

Ina memajukan bibirnya. “Hmm… apa ya kira-kira? Sekarat, mungkin?”

Lingga membelalak dan menganga.  

“Enggak percaya?” tanya Ina. Ia membuka galeri foto di ponselnya lalu menunjukkan satu foto ke Lingga.

Sebuah ranjang rumah sakit. Seorang pria beruban terbaring dengan slang-slang dan kabel-kabel terpasang ke badannya. Jemari Lingga gemetar saat menyentuh layar dan memperbesar gambar. Ia menutup mulut dengan tangan.

Ina mengantongi kembali ponselnya. “Papa jatuh di ruang rapat waktu sedang menyendiri untuk mempersiapkan bahan seminar. Tidak ada yang tahu sudah berapa lama persisnya Papa jatuh sebelum dia ditemukan. Dokter menyatakan Papa stroke gara-gara pembuluh darah di otaknya pecah. Setelah seminggu ditopang mesin-mesin dan obat-obatan, kondisinya terus menurun. Semalam dokter sudah meminta keluarga berkumpul…” Suaranya tercekat.

Lingga terlalu syok untuk bisa bereaksi.

“Sekretaris Papa memberikan ponsel biru ini kepadaku. Katanya, ponsel ini ditemukan di dekat tempat Papa jatuh.”

Tanpa bisa dicegah air mata Lingga menetes.

Ina mendesah berat. “Kalau Papa harus pergi, aku mau Papa pergi tanpa beban. Itu berarti tanpa beban kepada Mbak juga. Itulah sebabnya aku mengajak Mbak ketemuan.”

Diraihnya tangan Lingga dan dibalikkannya telapaknya menghadap ke atas, ditaruhnya ponsel biru itu di sana, lalu dilipatnya jemari Lingga mengatup benda itu. “Demi mamaku, tolong jangan pernah menunjukkan diri,” bisiknya lirih.

Tiba-tiba Lingga menarik tangannya dari pegangan Ina, berdiri, lalu berlari meninggalkan kafe.

Ina mendesah berat lagi. Tiba-tiba saja pipinya sendiri mulai basah. Entah untuk siapa air mata itu—Papa? Mama? Mbak Lingga? Dirinya sendiri? Ia meraih tisu untuk menyekanya, tapi matanya malah terpaku ke nama kafe yang tertera di tisu itu. Mendadak ia teringat sesuatu. Diketiknya “le” spasi “mari” ke aplikasi penerjemah di ponselnya. Tak sampai sedetik jawabannya muncul: “suami”.

***

Sopir hanya berani melirik sekilas lewat kaca spion tengah ke penumpang perempuan yang, setelah masuk ke kursi belakang taksinya dan memberitahukan alamat tujuan, langsung membenamkan wajah ke kedua tangan, yang sepertinya menggenggam ponsel biru, dan mulai menangis sejadi-jadinya hingga bahunya berguncang. Diiringi lagu Cinta Sejati dari BCL yang lamat-lamat terdengar dari radio, sopir itu kembali berkonsentrasi penuh ke jalanan basah di depan.


Avatar
About Author

Dharmawati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *