Screen Raves

‘Pengabdi Setan 2: Communion’: Agama Kalah (Lagi) Melawan Kejahatan

Banyak yang bertanya kenapa ustaz kalah sama setan dalam 'Pengabdi Setan'. Saya mau menambahi pertanyaan yang mungkin lebih penting, kenapa Tari juga harus kalah dalam sekuel terbaru ini?

Avatar
  • August 10, 2022
  • 10 min read
  • 5336 Views
‘Pengabdi Setan 2: Communion’: Agama Kalah (Lagi) Melawan Kejahatan

Peringatan: Artikel ini mengandung spoiler.

Setelah tiga tahun terbebas dari teror mendiang Ibu (Ayu Lakshmi), Rini (Tara Basro) bersama bapak dan kedua adiknya, kembali dihadapkan pada situasi mencekam. Kepindahan ke rumah susun (rusun) yang awalnya dianggap menjamin keamanan, ternyata tidak melepaskan mereka dari kejahatan begitu saja.

 

 

Sebagaimana tagline filmnya—“teror Ibu sepanjang masa”—sosok Ibu kembali mengunjungi keluarganya dalam Pengabdi Setan 2: Communion (2022).

Walaupun materi promosi filmnya banyak menampilkan Ibu, dia tidak menampakkan diri sebanyak di Pengabdi Setan (2017).

Joko Anwar, selaku penulis dan sutradara, memulai teror dengan pocong sejak adegan pembuka. Tampaknya, ia ingin mengingatkan kita tentang kehadiran pocong-pocong yang muncul tiba-tiba di pengujung Pengabdi Setan (2017) pertama.

Kendati demikian, minimnya kehadiran sosok Ibu tidak membuat Pengabdi Setan 2: Communion kurang menakutkan. Masih seperti film sebelumnya, Joko mempertahankan garis besar: suasana horor dan mengerikan bukan cuma muncul dalam wujud setan, melainkan alur cerita yang disajikan.

Dimulai sejak sebuah insiden—di hampir pertengahan film—terjadi, dan merenggut nyawa sejumlah warga rusun. Malam itu, para korban diletakkan di ruang tamu rusun mereka masing-masing, dengan keadaan terbalut kain kafan dan siap dimakamkan keesokan harinya.

Otomatis, suasana rusun yang tadinya lebih hidup, mendadak mencekam. Semakin senyap begitu banjir bandang menyebabkan terputusnya arus listrik. Berkali-kali sejumlah karakter mengingatkan kita, ada yang aneh dengan warga rusun yang mendadak lenyap.

“Bersiaplah sujud kepada Dia yang akan lahir.”

Kalimat itu terdengar beriringan dengan lampu yang padam seketika. Entah dari mana asal suaranya, mirip suara Ibu, tapi cukup jadi penanda bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang buruk.

Selama menonton, rasanya sulit untuk tidak was-was melihat pocong-pocong yang belum dikebumikan dan tergeletak di rumah mereka masing-masing. Takut mereka tiba-tiba bangun dan lagi. Namun, perasaan was-was itu ternyata sengaja dibangun Joko agar kita merasa tidak nyaman, dan terkecoh dengan teror sebenarnya yang justru datang dari rasa bersalah para karakter.

Misalnya, yang terjadi pada Wina (Nafiza Rani), salah satu anak warga rusun yang kehilangan tiga orang teman dan ayahnya.

Ketika peristiwa itu terjadi, Wina yang sedang bermain dengan teman-temannya. Ia cuma beruntung sepersekian detik, karena sempat melarikan diri dari nahas yang menimpa tiga temannya.

Namun, menonton langsung sakaratul maut ketiga temannya—yang tewas mengenaskan—meninggalkan beban di pikiran Wina. Ia digentayangi tiga temannya yang sudah tiada, dan berakhir menerima “ajakan” mereka untuk kembali bersama.

Selain Wina, ibunya juga mengalami hal serupa. Meski tak dijelaskan kenapa, Ibu Wina yang sedang sakit dan tidak dapat bicara, seolah-olah sedang dikejar ketakutannya sendiri dan memutuskan mengakhiri hidup. Bisa jadi ia merasa tak bisa menggantikan peran ayah dalam mencari nafkah,atau dikejar utang lain yang dibikinnya berdua dengan sang suami? Seperti utang yang mengejar Ibu dan Bapak Rini?

Kalau diperhatikan, teror-teror yang menakut-nakuti para karakter di film ini muncul dari perasaan bersalah mereka. Wisnu (Muzaki Ramadhan) dikejar hantu bapaknya yang gosong karena tragedi kebakaran, Tari (Ratu Felisha) dikejar-kejar rasa bersalah karena aborsi, Toni (Endy Arfian) dibebani sikap selalu ingin menolongnya, Doni (Jourdy Pranata) yang dibebani garpu ibunya (spoiler alert—perhatikan ujung ajalnya).

Sama juga seperti Bapak (Bront Palarae), yang dikejar-kejar utang pada sebuah sekte, sampai membahayakan anggota keluarganya.

Lantas, siapa yang bisa menentang kejahatan dalam Pengabdi Setan 2: Communion?

Ustaz yang Kalah Sama Setan

Layaknya sebuah pelengkap, karakter pemuka agama dalam film horor kerap menjadi solusi atas teror yang dihadapi pemeran utama. Misalnya di film Barat seperti The Exorcist (1973) dan The Conjuring (2013). Keduanya memanfaatkan peran pastor untuk menaklukan kekuasaan setan, dan berhasil memenangkannya.

Taktik serupa juga dimanfaatkan Riza Pahlevi dalam Makmum (2019), dan Sisworo Gautama Putra dalam Pengabdi Setan (1980). Keduanya masih menggantungkan keselamatan karakter utama pada pemuka agama.

Dalam Makmum, mereka yang tinggal di panti asuhan meminta bantuan pada seorang guru agama sekaligus ustaz, untuk mengusir arwah jahat yang disebut Makmum. Tentu sosok tersebut kalah dengan doa yang dilantunkan ustaz dalam pertarungan mereka.

Sementara dalam Pengabdi Setan, Sisworo memenangkan Pak Ustaz ketika melawan Darminah (Ruth Pelupessy)—asisten rumah tangga (ART) sekaligus dalang dari teror di keluarga Munarto (W. D. Mochtar). Karakter ustaz terus mengingatkan keluarga Munarto untuk beribadah, sekaligus melanggengkan narasi kejahatan akan kalah dengan kebaikan.

Sebenarnya alasan pemuka agama selalu menjadi tameng ketika melawan hantu, tak lain dan tak bukan, karena citra saleh yang dibawanya. Mereka juga dikenal punya pengetahuan agama mendalam, dan setia pada agamanya. Setidaknya untuk urusan keimanan, pemuka agama dianggap lebih kuat dibandingkan orang awam, yang sering kali goyah terhadap godaan setan. Pada zaman Orde Baru, narasi ini dipakai pemerintah untuk mendoktrin kebutuhan agama pada masyarakat lewat film-film yang diputar.

Karena itu, dalam film horor, ustaz diharapkan menjadi pemecah masalah yang membawa penonton ke akhir cerita membahagiakan—seperti disebutkan Husein Abdulsalam dalam Para Pemuka Agama Vs Setan di Film Horor Indonesia.

Namun, narasi usang itu tak lagi berlaku di sejumlah film horor. Contohnya Dabbe: Curse of The Jin (2013), The Medium (2021), termasuk Pengabdi Setan 2: Communion. Ketiganya justru menyampaikan perspektif lain, yakni tak selamanya setan ataupun kejahatan akan tunduk terhadap ajaran agama.

Sama seperti prekuelnya, Joko memosisikan peran ustaz—yang kini lebih humoris dan dipakai sebagai pencair ketegangan—sebagai sosok yang peduli terhadap warga rusun. Ia rajin mengingatkan untuk tidak meninggalkan salat dan hanya takut kepada Allah, serta memastikan seluruh jenazah korban tragedi dalam keadaan baik-baik saja.

Selain dari segi peran dalam film, karakter ustaz yang diperankan Kiki Narendra juga memiliki kesamaan dengan yang dimainkan Arswendi Bening Swara dalam Pengabdi Setan (2017) pertama; Joko membiarkan nyawa mereka berakhir di tangan setan.

Padahal, sebelumnya Pak Ustaz baru meyakinkan Tari (Ratu Felisha), bahwa setan hanya manifestasi dari ketakutan manusia. Kemudian, ia berjalan ke arah tangga untuk mengecek pocong yang dimaksud Tari. Selang beberapa saat kemudian, Pak Ustaz justru ditemukan… mati mengenaskan.

Kematian ustaz meninggalkan pertanyaan di benak penonton. Siapa yang nantinya akan menjadi penyelamat?

Mengapa Joko selalu membuat karakter ustaz dikalahkan oleh setan?

Pertanyaan itu muncul karena kita familier dengan narasi agama sebagai jawaban praktis dalam konflik supranatural. Namun, Joko membuktikan bahwa ustaz hanyalah manusia biasa. Ada kekuasaan yang lebih hebat dan melampaui batasan, dibandingkan kemampuan seorang pemuka agama.

Lewat tulisan berjudul Questioning Through Horror, penulis Sara Century menuturkan, film horor kerap memotret Tuhan sebagai sosok yang baik. Tapi, eksistensinya begitu jauh apabila dibandingkan dengan keberadaan setan. Kehadiran mereka lebih besar dan aktif dalam hidup manusia. Bahkan, banyak dari kita memercayai adanya kekuatan di luar makhluk hidup.

Dalam Pengabdi Setan yang terbaru, Joko menampilkannya lewat karakter Tari. Ia mengikuti saran Pak Ustaz untuk salat supaya tidak diganggu setan. Walaupun sempat ragu, lantaran sering mendengar cerita orang yang masih diganggu ketika sedang salat.

“Itu karena waktu salat, mereka takut kepada setan. Takutlah kepada Allah. Insya Allah, semua makhluk ciptaan-Nya akan takut kepada-Nya,” pesan Pak Ustaz yang menguatkan Tari.

Sayangnya, ketakutan Tari malah menjadi kenyataan. Mungkin sewaktu salat, ia masih takut dengan setan. Namun, adegan itu membuktikan eksistensi mereka yang tidak dapat tergantikan begitu saja dengan iman.

Karakter Bapak juga menghidupi realitas seperti yang disebutkan Century. Ia menganggap Tuhan tidak dapat diandalkan, sehingga mencari titik terang lewat bersekutu dengan setan yang dapat mengatasi permasalahan hidupnya untuk memiliki keturunan dan hidup berkecukupan.

Baca Juga: ‘Ratu Ilmu Hitam’: Santet Jadi Keadilan Terakhir Bagi Korban Kekerasan Seksual

Perjanjian itu membuat Bapak terus terlibat dengan kejahatan demi melindungi anak-anaknya. Pun keluarga mereka dipotret sama sekali tidak mengandalkan kekuatan agama. Alih-alih mencari Pak Ustaz untuk memecahkan konflik dengan Bapak, Rini, Tony (Endy Arfian), dan Bondi (Nasar Anuz) sibuk membongkar kejahatan lewat barang-barang yang ditemukan.

Hal ini mengingatkan saya dengan pertanyaan salah seorang polisi dalam Pengabdi Setan 2: Communion, “Apakah kejahatan diciptakan bersamaan dengan kemanusiaan? Bagaimana cara mengalahkannya?”

Meskipun masih meninggalkan tanda tanya besar bagi penonton, kemungkinan besar jawabannya bukan dikalahkan oleh karakter ustaz atau pemuka agama. Pasalnya, Joko kembali menggunakan karakter Budiman Syailendra (Egi Fedly) sebagai deus ex machina—intervensi pihak tak terduga yang menyelesaikan masalah.

Dalam film sebelumnya, Budiman yang merupakan jurnalis cetak, menyelamatkan keluarga Bapak lewat revisi artikelnya.

Kali ini, berbekal sejumlah senjata, ia menaklukan Raminom dan pengikutnya. Di antaranya pistol, kelereng, dan pear of anguish—alat penyiksaan yang digunakan pada abad pertengahan, untuk mendapatkan pengakuan dari penjahat dengan memasukkannya ke dalam mulut, vagina, atau anus.

Meskipun adegan klimaks dikemas terlalu cepat, tampaknya kehadiran Budiman akan mengendalikan cerita dengan menjawab seluruh teka-teki di film berikutnya. Entah akhirnya kemanusiaan akan hidup berdampingan dengan kejahatan, atau salah satu di antaranya takluk terhadap yang lainnya.

Mempertahankan Citra Perempuan yang Layak Jadi Korban?

Jika karakter Rini sudah digariskan menjadi Final Girl—karakter utama perempuan yang selamat di akhir cerita, saya menemukan kekosongan pada karakter Tari. Perannya dalam Pengabdi Setan 2: Communion terlihat enggak lebih dari pelengkap cerita, yang ikut menyumbang konflik.

Saat pertama kali melihat penampilannya, penonton mungkin akan mengategorikan Tari sebagai perempuan penggoda. Cara berpakaian, pekerjaannya yang berlokasi di tempat biliar, dan pesonanya yang memikat laki-laki, meninggalkan image “bukan perempuan baik-baik”, sebagaimana standar yang diciptakan masyarakat.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Tony, yang membela Tari ketika Bondi memanggilnya “tante-tante di lantai sembilan”.

“Dia cuma kerja di tempat biliar,” bantah Tony. “Lagian emangnya orang enggak boleh jadi seksi?”

Namun, stereotip yang melekat pada diri Tari tidak membuatnya menjadi perempuan rentan. Ia juga tidak membutuhkan perlindungan laki-laki sebagai pahlawan. Tari justru tidak berdaya setelah dihantui berbagai teror.

Teror bermula saat Tari sedang mendengarkan radio untuk mengusir kesunyian malam. Penelepon di radio terdengar seperti sosok dari masa lalunya. Mulai dari suara laki-laki yang terdengar ingin membalaskan dendam, sampai suara anak perempuan yang—kedengaran seperti suaranya sendiri—merintih karena kuburannya sempit

Dalam film horor, perempuan seperti Tari yang memiliki gambaran buruk dianggap pantas mati untuk menanggung hukuman atas perbuatannya. Chad Brewer dalam The stereotypic portrayal of women in slasher films: then versus now (2009) menuliskan, perempuan sering dihukum karena pergaulan bebas. Sementara Final Girl dipegang oleh perempuan yang masih perawan.

Potret perempuan yang dijelaskan Brewer dimunculkan Awi Suryadi lewat peran Ayu (Aghniny Haque), dalam KKN di Desa Penari (2022). Kematiannya setelah melakukan hubungan seksual dengan Bima (Achmad Megantara) menunjukkan bahwa perbuatan itu tidak pantas, dan Ayu layak menerima akibatnya.

Dalam Pengabdi Setan 2: Communion, Joko memang mengorbankan nyawa Tari. Tapi, penyebab kematiannya masih dipertanyakan. Apakah untuk mempertanggungjawabkan dosa di masa lalu karena mengaborsi bayinya, atau korban penghakiman dan stereotip masyarakat?

Baca Juga: ‘Perempuan Tanah Jahanam’: Kemiskinan sebagai Sumber Horor

Sebab, bayang-bayang neraka terlihat dari perpindahan tempat, ketika Tari mengambil wudhu dan menjalankan salat. Perubahan itu seolah menghantui sekaligus memperingatkan, bahwa neraka akan menjadi tempat peristirahatannya.

Sebaliknya, suara dari radio milik Tari mengiringi kematiannya dengan mengatakan, “Padahal semua yang dia lakukan itu baik, tapi dia akan tetap masuk neraka.”

Terlepas dari alasan kematiannya, Tari berhak mendapatkan screen time lebih panjang dalam Pengabdi Setan 2: Communion. Jika Joko ingin memperlihatkan keberpihakannya pada isu perempuan yang diselipkan pada karakter Tari, harusnya ia tidak dimatikan secepat itu. Bahkan, jika ingin lebih progresif, harusnya bisa dibiarkan tetap hidup, menemani Rini sebagai final girl.


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.