Issues

Jangan Kidal, Berat, Kamu Tak Akan Kuat, Biar Aku Saja

Plesetan gombalan populer di atas bukan omong kosong. Buat orang kidal seperti saya, menjalani keseharian adalah perjuangan yang tak mudah.

Avatar
  • January 12, 2022
  • 6 min read
  • 1036 Views
Jangan Kidal, Berat, Kamu Tak Akan Kuat, Biar Aku Saja

“Kevin, orang kidal cebok pakai tangan apa?”

“Kevin, makan pakai tangan kanan, dong!“

 

 

“Kevin, belajar nulis pakai tangan kanan, dong, enggak sopan!”

Pernyataan bernada menghakimi itu sudah sering saya terima dari kecil. Layaknya 10 persen populasi kidal di dunia, saya merasakan sulitnya menjalani hidup sebagai seorang yang “berbeda”. Salah satu kesulitan yang susah saya lupakan adalah ketika masih di bangku taman kanak-kanak.

Saya ingat betul, guru kerapkali marah-marah karena saya menulis dengan tangan kiri. Ia memaksa saya belajar memakai tangan kanan, tangan bagus katanya. Namun, instruksi guru itu tetap sulit saya lakukan, sehingga saya memilih tetap pakai tangan kiri. Efeknya, sesuai dugaan, guru tersebut kesal dan melaporkan saya ke orang tua.

Bak tercoreng arang di dahi, mama ikut memarahi saya sesampainya di rumah. Sebagai orang tua, ia merasa gagal karena tidak bisa mengajarkan etiket pada anak lelakinya. Hari-hari setelahnya adalah siksaan. Setiap mengerjakan pekerjaan rumah (PR), mama memukul tangan saya karena latah memindahkan pensil ke tangan kiri.

“Mama, kenapa enggak boleh nulis pakai tangan kiri?” tanya saya. Ia menjawab karena tidak sopan.

Meski demikian, upayanya membuat saya bisa menulis dengan tangan kanan tidak berlangsung lama. Sebab, sekeras apapun mencoba, saya tetap kesulitan membiasakan diri. Mungkin karena lelah, mama akhirnya berhenti memarahi saya yang masih menulis dengan tangan kiri.

Baca Juga: Biaya Hidup Serba Mahal yang Pusingkan Perempuan

Ini berlaku pula saat saya masuk ke sekolah dasar (SD). Berdamai dengan kenyataan bahwa anaknya adalah seorang kidal, mama pernah berkata pada saya, “Ya sudah lah tulis pakai tangan kiri saja.” Entah kenapa kata-katanya menguatkan saya, juga membuat saya tak merasa berbeda.

Meski begitu, ia tetap meminta kalau makan dan bersalaman dengan orang lain menggunakan tangan kanan. 

Barang-barang yang Tak Ramah Orang Kidal

Cerita tidak berhenti di sana. Saat kelas tiga SD orang tua saya memberikan jam tangan sebagai hadiah ulang tahun. Sebelum saya sempat mengagumi jam tangan bergambar lumba-lumba itu, mama langsung memasangnya di tangan kiri agar saya terlihat “normal”. Tentunya membuat saya sebagai orang kidal tidak nyaman.

Sebenarnya jam tangan bisa dipakai di tangan mana saja, tapi tetap saja diperuntukkan bagi mereka yang dominan dengan tangan kanan. Posisi crown yang berfungsi mengatur waktu misalnya, berada di posisi kanan sampai orang kidal sulit mengatur sesuai keinginannya.

Jam tangan hanya satu contoh dari banyak peralatan yang dibuat bagi orang-orang ‘non-kidal’. Tak hanya kerap dimarahi karena menggunakan tangan kiri, saya juga harus beradaptasi dengan berbagai peralatan yang tidak ramah bagi orang-orang kidal.

Kesulitan memakai peralatan sudah saya sadari sejak masih kecil. Saat pelajaran Matematika, saya menjadi orang terakhir yang selesai ketika ditugaskan menggambar kubus. Alasannya karena kesulitan melihat angka-angka di penggaris yang tertutup oleh tangan kanan saya sendiri. Bagi mereka yang bertangan kanan, menggambar kubus mungkin perkara mudah.

Baca Juga: Andai Jadi Ibu, Ini yang Takkan Saya Lakukan pada Anak

Penderitaan belum berakhir. Ketika beranjak remaja, saya melihat beberapa teman membawa motor ke sekolah. Sebagai anak baru gede alias ABG, tentunya saya merasa tidak mau ketinggalan dan ingin mencoba naik motor sendiri ke sekolah.

Dengan penuh semangat akhirnya saya meminta kepada ayah untuk mengajari mengendarai sepeda motor. Setelah mencoba, ternyata tidak semudah seperti apa yang teman saya bicarakan. Tuas gas yang berada di sisi kanan stang, membuat saya kagok ketika hendak menarik gas. Hal tersebut membuat proses belajar mengendarai sepeda motor menjadi lama. Ayah pun sesekali emosi karena tangan kanan saya belum terbiasa digunakan. Butuh waktu berbulan-bulan sampai akhirnya saya benar-benar bisa mengendarai sepeda motor. Impian saat masih Sekolah Menengah Pertama (SMP) untuk bisa mengendarai motor ke sekolah pun pupus. Saya baru memberanikan diri membawa motor ke sekolah saat sudah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kejadian tak mengenakkan sebagai orang kidal masih berlanjut di masa putih abu-abu ini. Saat itu, saya sedang senang-senangnya jualan online. Karena waktu itu belum memiliki rekening sendiri, saya jadi harus meminjam rekening mama. Makin lama makin terasa rumit saat mengambil uang di ATM, hingga akhirnya saya memutuskan membuat rekening sendiri.

Hari itu bank sedang ramai sekali. Setelah kurang lebih satu jam, akhirnya saya sampai di depan meja teller. Petugas teller memberikan selembar formulir untuk saya isi. Saya pun mengambil pulpen yang tertempel di sebelah kanan meja. Sialnya, tali yang berbentuk seperti kabel telepon itu menghalangi saya menulis. Apalagi mejanya terlalu sempit, sehingga saya tidak bisa mengambil posisi yang nyaman untuk menulis.

Saat saya pulang dengan perasaan risi dan marah. Lalu berjanji akan membawa pulpen sendiri saat pergi ke bank. Janji yang tentu saja saya tepati sampai sekarang ini.

Normal di Komunitas Kidal

Tentu saja saya masih mengalami kesulitan menggunakan beberapa benda sehari-hari. Salah satunya gunting. Setiap kali saya pakai gunting, selalu terasa tidak tajam karena mata pisaunya berada di posisi yang salah. Saya bertahan dengan segala kesulitan itu, sampai sebuah pertanyaan terbersit di kepala saya, “Apakah semua orang kidal mengalami hal yang sama dengan saya?”

Baca Juga: Surat dari Si Bungsu: Paling Dimanja, Hidup di Bayang Kakaknya

Pertanyaan itu terjawab secara tidak sengaja ketika saya menemukan komunitas kidal di salah satu forum daring terbesar sekitar 2010-an. Saat itu saya sedang iseng berselancar di forum tersebut kemudian menemukan judul “Orang terkenal dan sukses bertangan kidal”.

Saya langsung membaca tulisan itu dan menemukan nama, seperti Barack Obama, Jimi Hendrix, dan Keanu Reeves.Ternyata orang-orang yang terkenal banyak yang kidal, saya pun merasa menjadi kidal itu enggak jelek-jelek amat.

Namun yang membuat saya semakin tertarik adalah tautan yang mengarahkan ke komunitas kidal di bagian akhir tulisan. Tanpa basa basi, saya mengeklik tautan ini dan mendaftar sebagai anggota kidal. Layaknya komunitas lain, percakapan kami biasa saja dan tidak mengindikasikan orang kidal itu aneh. 

Pasalnya mereka tidak membicarakan persoalan menjadi kidal, tetapi isu yang sedang tren saat itu, misalnya grup idola K-pop generasi kedua SNSD yang sedang di puncak kariernya atau yang paling membosankan, absen asal domisili.

Kedekatan kami sebagai orang kidal dipererat dengan ajakan membuat kaus komunitas, semacam simbolisme resmi kebersamaan. Kaus hitam dengan logo komunitas berwarna merah putih itu pun saya beli dengan harga sekitar Rp75.000. Beberapa bulan setelah sang ketua dan wakil komunitas mengirimkan kaus tersebut, mereka mengajak kami untuk bertemu tatap muka.

“Ngopdar (ngopi darat) yuk, biar lebih dekat,” tulis si wakil ketua di forum.

Diskusi menentukan tempat nongkrong berlangsung cukup lama, mengingat beberapa dari kami tinggal di luar Jakarta dan tidak mengiyakan untuk ikut bertemu. Namun, untuk kami yang tinggal di daerah sekitar ibu kota setuju berkumpul di sebuah mal di Jakarta Barat.

Dengan kaus hitam komunitas dan menyisir rapi rambut gaya poni lempar yang ngetren saat itu, saya berangkat dengan motor bebek butut punya bayah. Kami tidak mencolok dan percakapannya pun tidak menyentuh soal derita kami menjadi kidal, saya merasa normal dan tidak dibedakan. Lucunya, saat kami mengisi absen, sebuah peraturan aneh untuk ngopdar, semua orang menulis dengan tangan kiri.

Sejujurnya pemandangan itu yang saya ingin lihat sejak dulu. Walaupun komunitas itu terakhir kali terlihat aktif 2015, saya menemukan kalau menjadi kidal sama saja seperti orang yang menulis dengan tangan kanan.

Perasaan kurang percaya diri dan berbeda akibat sering dimarahi menjadi kidal sejak anak-anak itu perlahan-lahan berkurang, walaupun sekarang belum sepenuhnya hilang. Setidaknya komunitas itu membuat saya tahu kalau saya tidak sendiri dan memberikan rasa kebersamaan dengan orang kidal lain.


Avatar
About Author

Kevin Seftian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *