Politics & Society

Saat Semua Orang Merasa Jadi Tuhan: Wawancara dengan Musdah Mulia

Tulisan ini adalah terjemahan dari wawancara dengan ahli fikih Islam Musdah Mulia pada 2014, yang kami terbitkan lagi karena masih sangat relevan dengan situasi saat ini.

Avatar
  • December 8, 2017
  • 13 min read
  • 875 Views
Saat Semua Orang Merasa Jadi Tuhan: Wawancara dengan Musdah Mulia

Jika menjadi kontroversial berarti menganut ajaran agama yang moderat serta memperjuangkan pluralisme dan kesetaraan gender tanpa kenal lelah, maka intelektual Muslim Siti Musdah Mulia adalah sosok yang kontroversial.

Profesor fikih Islam ini telah membuat jengkel banyak muslim konservatif akibat keberaniannya dalam mengkritik sejumlah aspek yang dianggap sakral dalam Islam, termasuk pandangannya soal jilbab (“itu cuma fashion, keputusan pribadi, tapi tidak ada perintah yang mengharuskannya”), meski ia sendiri mengenakan jilbab karena kebiasaan, serta pandangannya yang progresif mengenai relasi gender dan ramah LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).

 

 

Siti Musdah Mulia lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada 1958. Ia adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih PhD di bidang studi pemikiran politik Islam dari Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ia telah menulis sejumlah buku tentang Islam kontemporer, kebijakan publik dalam Islam, kesetaraan gender, dan poligami. Musdah pernah mendapatkan penghargaan bergengsi Yap Thiam Hien untuk aktivis hak asasi manusia pada 2008 karena keberaniannya dalam mempromosikan Islam sebagai kelompok yang damai dan mengedepankan dialog serta inklusivitas.

Ibu dari tiga anak ini sempat menjabat sebagai direktur riset keagamaan dan hubungan sosial di Kementerian Agama dan direktur Megawati Institute, lembaga pemikiran milik mantan presiden Megawati Soekarnoputri. Saat ini, ia masih aktif di Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Magdalene berkesempatan untuk duduk bersama Siti Musdah Mulia dan berdiskusi tentang konservatisme agama di Indonesia. Berikut ini kutipan wawancaranya.

Magdalene: Sebelumnya mohon maaf atas kelalaian saya, saya bahkan tidak tahu kalau ada Megawati Institute. Apa fokus dari lembaga tersebut?

Musdah Mulia: Lembaga ini memiliki Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB), yang bertujuan untuk merajut gagasan-gagasan dari para pendiri bangsa, yang masih relevan sampai hari ini. Selama empat bulan, para siswa diperkenalkan pada gagasan-gagasan mulai dari Soekarno, Mohammad Hatta, dan Budi Utomo, sampai Tan Malaka dan Kartini.

Saya merasa sedih karena banyak orang masih belum kenal dengan  pemikiran dan ide-ide mereka. Tan Malaka adalah seorang pemikir cerdas, tapi masyarakat hanya mengenalnya sebagai anggota kelompok sayap kiri. Orang-orang menolak untuk membaca secara komprehensif. Mereka hanya membaca sebagian dan sepotong-sepotong, kemudian seringkali membawanya keluar konteks. Mereka sering mengira bahwa gagasan-gagasan tersebut berbahaya sehingga tidak mendapatkan inti pesan yang sebenarnya.

Saya ingin agar para siswa bisa benar-benar mempelajari gagasan-gagasan tersebut dan memberikan argumen yang benar, terlepas dari apakah mereka sepakat atau tidak, dan mereka bisa terdorong untuk menulis. Kurikulum di kelas ini ditujukan bagi murid usia 17 sampai 24 tahun. Mereka berasal dari berbagai universitas di seluruh Indonesia. Pengajar-pengajarnya sebagian besar ahli sejarah, yang benar-benar memahami gagasan para pemikir itu. Kelas ini gratis.

Apakah Ibu menjadi bagian dari tim sukses Jokowi saat pemilihan presiden?

Iya, saya masuk dalam tim ahli, bertugas untuk memformulasikan visi, misi, pidato dan materi-materi yang dipakai pada debat calon presiden, dan lain-lain. Saya memberi masukan tentang agama. Waktu orang-orang tahu bahwa saya menjadi bagian dari tim sukses, saya di-bully. Sepertinya orang-orang tidak suka sama saya (tertawa). Saya dituduh melegalkan komunisme, berjuang untuk menghilangkan status agama dalam KTP. Kampanye hitamnya kotor sekali. Mungkin saya harus menulis buku tentang efektivitas kampanye hitam. Kita harus menyadarkan masyarakat supaya mereka tidak mudah tertipu dengan propaganda, karena hal itu bukan hanya fitnah, tapi juga pembunuhan karakter.

Masyarakat percaya dengan isu agama yang disebarkan melalui kampanye hitam. Mengapa bisa begitu?

Saya percaya bahwa sebagian besar dari kita tidak begitu paham dengan agama. Kebanyakan orang mendapat pengetahuian dari penjelasan verbal. Orang yang memahami agama dari hasil membaca sendiri masih jarang.

Saya belajar agama secara sistematis dari sumber-sumber yang otentik dan terpercaya. Namun kebanyakan orang hanya belajar dari ustaznya, dan mereka percaya bahwa pengetahuan yang mereka dapat itu bersifat absolut.

Kedua, sistem pendidikan kita belum menekankan pada cara berpikir kritis. Pendidikan seharusnya mempertajam berpikir kritis. Saat kita belajar, bahkan tentang agama, kita harus beropini. Jika tidak, pembelajaran itu hanya jadi sia-sia. Kita akan menerima segalanya sebagai dogma, bukan sebagai hasil dari pemahaman kritis.

Ajaran agama didasarkan pada rasa takut, padahal Tuhan adalah Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Memberi, sebagaimana disebutkan dalam kalimat yang diucapkan oleh muslim setiap hari, Bismillaahirrahmanirrahim. Sifat-sifat yang diucapkan itu seharusnya ditanamkan terlebih dahulu dalam diri kita, sehingga tidak akan ada stigma dan prasangka. Sebelum kita mencurigai orang lain, kita harus terlebih dahulu menerima mereka apa adanya. Namun agama justru seperti menyebarkan horor, ketakutan dan kadang-kadang tidak berdasar ataupun beralasan.

Saya tahu persis bahwa selama pilpres, sejumlah masjid meminta jamaahnya supaya tidak memilih Jokowi, karena jika ia terpilih sebagai presiden, Jakarta akan dipimpin oleh gubernur Kristen beretnis Tionghoa.

Di banyak tempat – kebetulan saya mengurus sebuah sekolah berbasis agama di Klender, Jakarta Timur – ada sekelompok orang yang datang dan memberi khotbah, menyuruh orang-orang agar tidak memilih Jokowi karena dia anggota Partai Komunis Indonesia. Kadang-kadang saya bertanya, menurutmu apa itu PKI? Mereka menjawab tidak tahu. Banyak orang bingung dengan apa sebenarnya PKI itu.

Saya katakan pada orang-orang di sekolah-sekolah agama bahwa banyak anggota PKI yang beragama Islam dan bahkan ada yang ulama. PKI tidak ada hubungannya dengan organisasi atau ateisme.

Tapi dalam Islam sendiri, apa hukumnya dipimpin oleh non-muslim?

Tidak ada hukum terkait itu. Saya punya sebuah buku terpercaya yang ditulis oleh Ibnu Taymiyyah, seorang cendekiawan terkenal asal Timur Tengah di abad 13-14. Ia mengatakan bahwa lebih baik dipimpin oleh seorang raja non-muslim yang adil, daripada dipimpin oleh raja muslim yang lalim.

Tidak ada aturan yang menyebutkan bahwa pemimpin harus seorang muslim, namun keyakinan (bahwa masyarakat muslim harus dipimpin oleh muslim) ini sudah mengakar dengan dalam. Saya khawatir memikirkan berapa banyak orang yang masih memahami agama dengan sudut pandang yang sangat konservatif. Isu ini harus ditangani oleh pemerintah. Pemerintah harus mendorong penyebaran pemikiran moderat, tidak hanya dalam Islam tapi juga agama-agama lain, yang sejalan dengan nilai-nilai demokrasi. Ini adalah tanggung jawab negara. Namun belum ada upaya serius dari pemerintah dalam hal ini.

Pemerintah harus mendorong cara pandang agama yang demokratis, cinta damai dan menghargai keragaman. Pemahaman sempit yang menyebabkan konflik dan ketakutan bisa dihilangkan sedikit demi sedikit. Sayangnya, pemerintah malah melakukan pembiaran. Mereka seharusnya mengambil sikap yang tegas untuk melawan upaya desakralisasi Pancasila sebagai ideologi negara, termasuk melalui ajaran agama.

Saya sering bingung. Masyarakat kita tidak bodoh, namun kalau sudah menyangkut agama, mereka menolak untuk menggunakan nalar. Bahkan para intelektual dan guru besar memiliki sudut pandang agama yang menurut saya naif. Pengetahuan agama seharusnya diperlakukan sama dengan pengetahuan lainnya – kita harus menggunakan pola pikir kritis. Mungkin hal ini karena sejak kecil kita memahami agama sebagai dogma, padahal ajaran-ajaran itu juga harus dikritik, terutama jika ada hal-hal yang tidak masuk akal.

Mengapa masyarakat kita menjadi semakin konservatif?

Pertama, ini adalah fenomena global yang disebabkan oleh ketidakadilan yang diderita oleh negara-negara Islam, akibat standar ganda yang diterapkan oleh negara-negara demokratis, termasuk AS. Ini bukan hal yang menguntungkan bagi negara-negara yang masih dalam proses transisi menuju demokrasi.

Kedua, demokrasi harus sejalan dengan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Jika tidak ada keadilan dan kesejahteraan, ditambah dengan adanya kesenjangan dan korupsi yang merajalela, orang-orang akan mempertanyakan apakah demokrasi memang seperti ini.

Jika ini masalah kesejahteraan, kenapa kelas menengah juga menjadi semakin konservatif?

Kelas menengah hanya mencari aman. Saya tidak punya penjelasan lain. Mereka beranggapan bahwa menjadi moderat itu lebih merugikan, sehingga mereka memilih untuk mengikuti arus. Seharusnya mereka berada di posisi yang menyatakan bahwa tidak ada tempat di mana pun bagi fundamentalisme dan radikalisme, apa pun risikonya.

Anak muda menjadi konservatif karena ajaran konservatif telah dimsukkan dalam sistem pendidikan sejak PAUD (pendidikan anak usia dini). Saat ini, sekolah umum lebih konservatif dibandingkan dengan sekolah agama, lewat ekstrakurikuler agama (Rohani Islam, Rohis). Mereka lebih mengerikan dibandingkan dengan sekolah berbasis agama.

Di Indonesia, Wahabi (gerakan agama ultrakonservatif) bergerak dan berkembang dengan bebas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengesahkan pembukaan sekolah Wahabi pertama di Solo yang bernama Majelis Tafsir Alquran (MTA). Kelompok Wahabi dari Arab Saudi ini pintar. Mereka mau membangun universitas, tapi bukan membangun yang baru, melainkan membentuk kerja sama dengan cara menawarkan uang dalam jumlah besar kepada lembaga lokal yang perkembangannya sedang tersendat. Siapa yang bisa menolak?

Saya tidak mengerti ke mana arah politik dalam negeri dan luar negeri kita. Sebagai contoh, berbagai kelompok cenderung memilih Wahabi dibandingkan Iran, karena Iran mengikuti pemikiran Syiah sedangkan Wahabi berasal dari Arab Saudi. Saudi adalah negara kapitalis dan hedonis, dan mereka mempertahankan keberadaan kelompok Wahabi demi menghindari demonstrasi dan gagasan demokrasi, supaya lebih mudah mengontrol masyarakat. Di Indonesia, apa manfaat dari hal semacam itu? Barangkali juga demi kontrol.

Apa yang membuat masyarakat Indonesia sangat memusuhi Syiah?

Syiah di Indonesia adalah Syiah yang tradisional. Kalau kita mau jujur, Islam dibawa ke Indonesia oleh para pedagang dari Gujarat, India, dan mereka berasal dari aliran Syiah. Banyak tradisi Islam yang dilakukan dan dirayakan di Indonesia berasal dari tradisi Syiah, salah satunya perayaan Maulid Nabi (hari lahir Nabi Muhammad). Perbedaan antara Syiah di Indonesia dengan di Iran adalah bahwa di sini tidak ada elemen politik yang terlibat. Masyarakat bahkan tidak tahu tentang tradisi Syiah. Syiah di Iran punya tradisi imam, di sini tidak ada.

Kebencian terhadap Syiah disebarkan oleh kelompok Wahabi yang membenci Syiah. Berdasarkan sejumlah penelitian di Indonesia, ditemukan bahwa pesatnya pertumbuhan Wahabi di Indonesia menyebabkan sikap anti-Syiah, anti-Ahmadiyah, dan anti-kelompok liberal. Semakin pemerintah melindungi Wahabi, masyarakat akan semakin intoleran. Saya dengar pemerintah mengizinkan kelompok ini tumbuh supaya masyarakat tidak jadi terlalu liberal, sehingga pemerintah bisa dengan mudah “memainkan” mereka.

Secara mendasar, apakah ada perbedaan ajaran antara Syiah dan Sunni?

Pada dasarnya tidak ada perbedaan. Keduanya menyembah Allah dan memiliki nabi yang sama, Muhammad. Masyarakat mudah untuk menuduh orang sebagai Syiah, seperti (ulama dan cendekiawan Muslim) Quraish Shihab. Banyak orang tidak terlalu paham dengan keahlian beliau, mereka tidak tahu Pak Quraish, namun menyerangnya. Beberapa dari penyerangnya bahkan baru lulus kuliah. Ini sesuatu yang konyol.

Pak Quraish adalah salah satu ulama yang sering diserang oleh kelompok konservatif.

Iya, salah satunya karena pandangannya mengenai jilbab. Ia mengatakan bahwa, “Saya tidak pernah mengatakan bahwa jilbab itu haram, tidak. Saya hanya ingin mengatakan bahwa jilbab adalah budaya Arab.” Itu tradisi. Jika Anda mau mengenakannya, silakan, jika tidak, maka tidak usah. Pak Quraish mengatakan bahwa banyak ulama merasa marah dengan pandangan ini, namun ia merasa bahwa ia harus mengatakan yang sebenarnya.

Bagi saya, jilbab itu lebih seperti kebiasaan, karena saya tumbuh di sekolah agama. Saya tidak pernah memaksa anak-anak atau saudara perempuan saya untuk mengenakannya.

Pemerintah harus memenangkan sudut pandang moderat. Kita harus melihat negara-negara Islam lainnya, dan tidak menjadikan Arab Saudi sebagai panutan. Di Turki, imam dan khatib harus belajar di sekolah khusus. Ada standar-standarnya. Sekolah-sekolah tersebut mengajarkan pandangan yang moderat, sehingga masyarakatnya menjadi moderat, meskipun presiden mereka saat ini agak konservatif. Tunisia mengadopsi syariat, namun melarang poligami dan menutup media serta masjid-masjid yang menyampaikan ajaran radikal.

Apakah ajaran konservatif agama telah memundurkan pergerakan perempuan?

Sangat. Diskusi mengenai undang-undang kesetaraan gender di DPR belum selesai sampai sekarang. Saat ini saya enggan ditanyai pendapat tentang hal itu, karena diskusinya tidak pernah berkembang, hanya membuang-buang waktu saya saja.

Tampaknya ada usaha untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik. Hal ini tampak jelas dalam pandangan berbagai ajaran konservatif. Saya bertemu dengan beberapa guru agama perempuan, dan mereka mengatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin, tidak bisa aktif di ranah publik. Saya bertanya pada mereka, Anda sendiri bekerja di wilayah publik, bagaimana Anda bisa mengajarkan hal semacam itu

Lantas apa yang harus kita lakukan?

Pemerintah harus mengambil sikap yang kuat dan menyatakan bahwa hanya ajaran agama moderat dan sejalan dengan prinsip demokrasi, Pancasila serta prinsip Islam sebagai rahmatan lil alamin – rahmat bagi seluruh umat manusia – yang diterima di negara ini. Itu saja. Mengapa begitu takut untuk menyatakan hal demikian?

Islam sangat sesuai dengan demokrasi. Sebagai aktivis HAM, saya tidak pernah kehilangan pijakan. Saya sangat percaya bahwa Alquran dan Hadis (catatan tentang perkataan dan perilaku Nabi Muhammad) menjunjung tinggi hak asasi manusia. Agama itu ada untuk memanusiakan manusia. Hal ini sangat jelas bagi saya.

Melawan (ajaran radikal) tidaklah mudah, namun jika kita membiarkannya, Indonesia akan menjadi Taliban dalam 20 sampai 30 tahun lagi. Saya sudah pernah bertemu dengan Taliban di Afghanistan. Saya ditugaskan oleh PBB untuk mengadakan dialog dengan mereka. Awalnya mereka menolak memandang saya, mereka marah, namun kami jalan terus. Saya hafal Alquran, mereka tidak, dan akhirnya mereka menunjukkan rasa hormat pada saya dan bersedia untuk berdialog.

Mereka bilang, “Jangan salahkan kami. Kami tidak pernah tahu tentang pandangan-pandangan (moderat) itu.” Jadi, dialog itu penting. Tentu tidak mudah; dialog itu membutuhkan waktu dan banyak kesabaran.

Anda juga terkenal karena pandangan Anda yang ramah LGBT. Kami pernah mengeluarkan artikel menarik tentang menjadi gay dan Muslim, sesuatu yang dianggap penulis sebagai paradoks dan konfliktual.

Penulis itu seharusnya tidak perlu merasa berkonflik. Saat kita bicara tentang LGBT, hal pertama yang kita bicarakan adalah orientasi seksual yang, berdasarkan banyak penelitian, merupakan kodrat. Jika orang memang tertarik dengan orang lain dengan jenis kelamin yang sama, maka tidak ada yang salah. Sebenarnya tidak ada aturan terkait hal tersebut.

Kedua, tentang perilaku seksual. Ada orang-orang heteroseksual yang suka dengan hubungan seksual yang tidak wajar, namun ada juga orang LGBT yang tidak aktif secara seksual karena mereka merasa berdosa. Perilaku seksual yang haram adalah perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab, yang menyakiti orang lain dan yang membuat orang sakit atau tersiksa, terlepas dari orientasi seksualnya.

Islam menyebutkan perilaku seksual secara rinci. Kebanyakan dari penjelasan tersebut ditujukan pada suami, karena di tengah masyarakat Arab pada waktu itu, suami adalah pihak yang aktif. Maka dari itu, ayat-ayat yang ada dalam Alquran dan hadis selalu memerintahkan suami agar tidak memperlakukan istri mereka seperti binatang. Hubungan seksual harus selalu didahului dengan pemanasan, ciuman dan kata-kata yang baik.

Jika orang gay melakukan hubungan seksual dan melakukannya dengan cinta dan tanggung jawab, maka apa yang salah? Sebagian besar yang ditekankan oleh Alquran adalah perilaku seksual.

Bagaimana dengan kisah Nabi Lut (Sodom dan Gomorah)?

Kisah ini selalu dijadikan sebagai kesimpulan akhir. Menurut pemahaman saya, kisah ini bercerita tentang peringatan Tuhan terhadap mereka yang melakukan kekerasan seksual. Siapa pun yang melakukannya, baik itu heteroseksual maupun homoseksual, semuanya. Tidak ada pernyataan yang secara spesifik mengatakan bahwa homoseksualitas itu tidak diperbolehkan.

Mengapa setiap agama melarang homoseksualitas? Karena agama ada untuk melakukan syiar. Pada akhirnya, semua agama berlomba-lomba untuk mencari pengikut. Mereka merasa terancam oleh kaum homoseksual.

Saya pernah menulis tentang homoseksualitas dan pernah beberapa kali diundang untuk menghadiri pernikahan gay di Afrika Selatan. Saya mengalami saat-saat yang menyenangkan di  salah satu acara yang saya hadiri, yaitu di pernikahan seorang imam, seorang gay muslim. Pada waktu itu saya diundang bersama dengan Amina Wadud (seorang  cendekiawan Muslim yang berfokus pada penafsiran Alquran yang progresif).

Tidak ada yang salah dari menjadi gay dan Muslim. Di Jawa Barat ada kelompok lesbian Muslim – anggotanya secara rutin mengadakan ibadah berjamaah dan sedekah kepada anak yatim. Mereka lebih Sufi dibandingkan yang lain. Hanya Tuhan yang berhak menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak, beriman atau tidak.

Masalahnya, di masyarakat kita ada terlalu banyak orang yang menempatkan diri sebagai Tuhan.   

Wawancara ini diterjemahkan oleh Anggita Paramesti dari versi aslinya dalam Bahasa Inggris.


Avatar
About Author

Hera Diani

Hera Diani, like many Indonesians, has two names and she relishes the fact that Indonesian women do not have to take the surname of their fathers and husbands. Pop culture is her guru, but she is critical of the terrible aspects of it, such as the contents with messages of misoginy and rape culture, and The Kardashians.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *