Issues

Perkara Toa Masjid, Polusi Suara, dan Kerukunan Beragama

Indonesia memiliki aturan soal volume azan dari masjid, tetapi sebagian besar pengurus masjid mengabaikannya, sehingga kemudian menimbulkan polusi suara.

Avatar
  • May 1, 2021
  • 3 min read
  • 574 Views
Perkara Toa Masjid, Polusi Suara, dan Kerukunan Beragama

Sebagai negara dengan persentase populasi muslim tertinggi di dunia, Indonesia tidak asing lagi dengan panggilan umat Islam untuk salat lima kali sehari, alias azan. Di Indonesia dan negara mayoritas muslim lainnya, azan diserukan oleh muazin menggunakan pengeras suara dari atas menara masjid, mengingatkan umat Islam untuk melakukan salat atau ibadah wajib.

Ada sesuatu yang indah dari tradisi ini yang telah diwariskan selama berabad-abad lamanya dan diadopsi oleh umat Islam di seluruh dunia. Namun, penggunaan teknologi modern (dalam hal ini pengeras suara) sebagai alat menyerukan azan muncul dengan permasalahan baru, yaitu polusi suara. Suara menjadi tidak diinginkan jika menginterupsi aktivitas normal seperti tidur, percakapan, atau mengganggu dan mengurangi aktivitas orang lain atau komunitas di sekitar.

 

 

Hal ini lebih terlihat di kota-kota besar dengan gedung-gedung bertingkat seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung, di mana penempatan pengeras suara tertentu membuat azan terdengar buruk dengan gaung yang kacau. Muazin atau pelantang azan adalah masalah lain. Sementara beberapa masjid memiliki muazin yang baik dan berpengetahuan luas dengan suara-suara yang indah, sebagian besar lainnya tidak. Kadang-kadang mereka mengirim bocah laki-laki yang belum lancar melafal untuk menyerukan azan, membuat tradisi ini jauh dari menyenangkan.

Baca juga: Terbatasnya Ruang Salat Bagi Perempuan di Masjid dan Hak Istimewa Laki-laki

Sebagai masyarakat multikultural, Indonesia adalah rumah bagi ratusan budaya, tradisi, dan agama. Namun, dengan populasi muslim mayoritas, Islam telah mengambil peran dominan dalam kehidupan budaya dan politik, dan kasus pengeras suara adalah bukti nyata. Inilah yang kita kenal sebagai hegemoni, di mana satu negara atau kelompok sosial dominan atas yang lain dan membentuk kehidupan sehari-hari masyarakat.

Sebelumnya pada 1978, Kementerian Agama telah mengeluarkan pedoman masyarakat tentang penggunaan pengeras suara. Dengan jelas disebutkan, masjid harus mengontrol volume suara dan tidak boleh mengganggu lingkungan sekitar sebelum, selama, dan setelah ibadah berlangsung. Sayangnya, peraturan ini belum banyak diedarkan oleh pengurus masjid, sehingga para imam setempat menganggap penggunaan pengeras suara untuk keperluan apa pun dan kapan pun mereka inginkan diperbolehkan.

Berbagai penelitian telah menunjukkan, ada hubungan langsung antara kebisingan dan kesehatan. Masalah yang terkait dengan kebisingan termasuk penyakit yang berhubungan dengan stres, tekanan darah tinggi, gangguan bicara, gangguan pendengaran, gangguan tidur, dan kehilangan produktivitas.

Kasus ekstrem di mana penggunaan pengeras suara untuk keperluan keagamaan yang berujung pada kekacauan terjadi pada 2016 lalu di Tanjung Balai, Sumatra Utara. Delapan candi Budha dibakar massa karena keluhan seorang perempuan tentang pengeras suara yang terlalu keras. Hal ini, ditambah dengan provokasi di media sosial, beralih dari pertengkaran komunitas kecil menjadi isu nasional, di negara tempat orang-orang dari semua agama telah hidup berdampingan selama ratusan tahun.

Baca juga: Hanya Sepetak Ruang untuk Perempuan di Rumah Tuhan

Hari-hari ini, Kemenag tampaknya sudah lebih progresif setelah mengeluarkan peraturan teranyar tentang toa masjid. Dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala dijelaskan beberapa pengaturan dasar, termasuk jenis pengeras suara, durasi untuk menggunakan pengeras luar, dan macam-macam peruntukannya.

Dalam keterangannya di Antara, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid bertujuan untuk menjaga hubungan harmonis antarumat beragama. Aturan tersebut bukan bentuk pelarangan.

“Surat edaran ini dikeluarkan dengan tujuan agar tidak ada umat agama lain yang terganggu. Kita tahu itu syiar agama Islam, silahkan gunakan toa, tapi tentu harus diatur. Diatur bagaimana volumenya tidak boleh keras, maksimal 100 desibel,” ujarnya kepada Antara, (24/2).

Kendati menuai kontroversi, semangat Kementerian Agama dalam menanggulangi “polusi suara” atas nama harmonisasi agama ini patut diapresiasi. Sebab, kita tidak dapat berbicara tentang pembangunan berkelanjutan jika kita tidak dapat bertindak berdasarkan elemen terpenting dari hidup sehat, dan itu adalah polusi suara yang dengan sengaja ditimbulkan.


Avatar
About Author

Iman Putra Fattah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *