Lifestyle

Sahabat Laki-laki yang Kucintai

Kenapa laki-laki tidak bisa mengatakan cinta pada sesama sahabat laki-laki?

Avatar
  • July 22, 2020
  • 9 min read
  • 1967 Views
Sahabat Laki-laki yang Kucintai

Salah satu sahabat saya waktu SD namanya Agus. Kami sering berangkat sekolah bersama. Sepulang sekolah, beberapa kali saya mampir ke warung es teh ayahnya di depan kompleks sebuah pabrik. Ayahnya sering menolak uang yang saya berikan. Saya tidak enak hati menerima es teh gratis, jadi saya tidak datang ke sana sering-sering. Sahabat saya satu lagi namanya Ari. Dulu, saya dan teman-teman sering main ke rumahnya karena rumahnya yang paling besar. Ayahnya adalah seorang koki. Di rumah Ari lah saya pertama kali makan piza. Kami duduk bersebelahan di kelas dan sering menghabiskan banyak waktu mengobrol apa saja.

Sahabat saya sewaktu SMP namanya Bagus. Saya cadel. Tidak lancar mengucapkan huruf ‘R’. Bagus adalah salah satu orang yang tertawa paling keras ketika saya memperkenalkan diri di depan kelas. Tapi kemudian kami duduk bersebelahan. Dia mengajari saya matematika, saya mengajari dia bahasa Inggris. Kepribadian kami sama. Kami punya bahasa tubuh yang juga sama. Tak butuh waktu lama hingga persahabatan kami terkenal sampai ke seluruh sekolah. Banyak orang yang bahkan mengira kami bersaudara. Sayangnya, kami hanya bisa bersahabat empat tahun karena saya harus pindah sekolah ke kota besar, ikut orang tua saya.

 

 

Di bangku kuliah, saya bersahabat dengan Arif. Persahabatan saya dan dia adalah yang termanis dibandingkan yang lain. Kami berkuliah di Solo. Beberapa kali kami pergi ke Yogya boncengan naik motor. Ketika kelompok teater kami pergi ke kota itu untuk menonton pertunjukan dengan lakon yang sama dengan yang akan kami pentaskan, saya dan Arif bahkan memisahkan diri dan pulang terpisah dari kelompok kami yang lain. Jalan-jalan sebentar, menikmati Malioboro, baru setelah itu pulang. Sepanjang perjalanan, kami berbincang mengenai banyak sekali hal sampai kemudian saya sadar, “Loh, kita sudah sampai Solo?”.

Saya sering menginap di kamar kosnya. Mengobrol sampai azan Subuh berkumandang, ayam berkokok, dan matahari terbit. Suatu malam, dia bilang dia ingin tidur lebih awal. “Udah ya, jangan ajak aku ngobrol. Aku mau tidur,” katanya. Saya hanya menjawab “hmmm” singkat sambil berkutat dengan ponsel. Tanpa kami sadari, lagi-lagi azan subuh berkumandang, ayam berkokok, dan matahari terbit.

“Loh, kok kita malah ngobrol?!” protesnya.

“Ya kan elu yang ngajak ngobrol duluan. Gue udah diem-diem aja loh padahal.”

“Ya udah kita lanjut ngobrol sampai jam 6, sarapan bubur di depan [kampus] ISI (Institut Seni Indonesia), baru abis itu tidur ya.”

“Oke.”

***

Suatu ketika, lagi-lagi ketika dini hari, saat kami masih terjaga, Arif punya ide spontan.

“Ke [kompleks Candi] Sukuh yuk”
“YUK!” jawabku semangat.
“Eh tapi agak entaran aja kali ya”.
“SEKARANG AJA UDAH. KEBANYAKAN MIKIR NANTI MALAH ENGGAK JADI!!”

Kemudian berangkat lah kami. KomplekS Candi Sukuh ada di dataran tinggi. Kurang lebih sama seperti kawasan Puncak, Bogor. Kami pulang setelah melihat matahari terbit, minum kopi, dan makan Indomie.

Baca juga: Budaya Kencan Gay: Rumit dan Diskriminatif

Arif juga pernah mengajak saya ke rumahnya di Pekalongan. Dia mengajak saya napak tilas perjalanan hidup dia semasa SMA. Mengenang mantan pacarnya, pergi ke pantai, dan makan sego megono, makanan khas Pekalongan. Dia tahu bagaimana saya adalah seorang introver. Berinteraksi dengan orang baru, jika tidak terlalu perlu, bukanlah hal favorit saya. Dia bilang, “Aku tahu lah kamu orangnya gimana. Enggak mungkin aku ngajak kamu ketemu temen-temenku”, padahal saat itu dia sudah lama tidak pulang dan bertemu teman-temannya.

Dia juga yang memperkenalkan saya pada warung susu Shi Jack. Warung susu murni paling terkenal (dan paling enak) di Solo. Kalau dipikir-pikir lagi sekarang, bisa jadi itu adalah awal mula saya menjadikan susu sebagai minuman favorit saya. Saya bahkan mencari susu ketika saya stres, sedih, dan tertekan layaknya orang mencari alkohol.

Saya tidak pernah punya jawaban pasti ketika orang bertanya, “kalau kamu bisa kembali ke masa lalu, kamu mau ke mana? Apa yang ingin kamu lakukan?”. Belakangan pertanyaan itu muncul lagi di kepala saya. Kali ini bersama dengan jawabannya. Saya ingin kembali ke saat-saat terakhir saya bersama Agus, Ari, dan Arif. Saya ingin mengucapkan bukan hanya terima kasih tapi juga betapa saya sangat sayang pada mereka. Bahwa saya mencintai mereka.

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah artikel yang terbit di the New York Times, tepatnya di kolom Modern Love. Artikel itu berjudul “Why Can’t Men Say ‘I Love You’ to Each Other?“. Saya paham apa yang Ricardo, si penulis, rasakan. Dia pernah mengatakan “I love you” pada sahabatnya, Kichi. Tapi  setiap kali dia melakukannya ada ketidaknyamanan yang dia rasakan. Begitu pun Kichi yang membalasnya dengan kerikuhan yang kurang lebih sama, bukannya membalas dengan “I love you, too“.

Di Indonesia, kita tidak mendengar, “Aku mencintaimu”. Kita juga tidak mengatakannya. Kata “cinta” hanya kita temui dalam lirik lagu-lagi, buku cerita fiksi, dan puisi, mungkin sesekali dalam film dan FTV. Saya lebih sering mendengar kata “sayang”. Katanya, kata itu artinya sama saja dengan kata “cinta”. Lantas kalau memang sama, mengapa tidak ada seorang pun yang menggunakan kata cinta?

Salah seorang teman pernah bilang, baginya cinta adalah sesuatu yang sakral, yang ia hormati dan ia tempatkan jauh di atas kahyangan. Tapi mengapa harus sejauh itu? Mengapa tidak kita jadikan kata “cinta” sebagai sahabat terdekat kita? Beberapa orang beranggapan cinta adalah sesuatu yang sangat spesial. Tapi bahkan ketika saat-saat spesial itu terjadi, kata “cinta” tak pernah terucap dan terdengar. Bahkan tidak sampai saat ketika kita pergi ke liang lahat (atau jadi abu).

Baca juga: Apakah Kelompok LGBT Memang ‘Ngelunjak’?

Laki-laki lebih tidak akrab dengan kata cinta, bahkan kata padanannya. Apalagi ketika ditujukan pada sesama laki-laki. Begitu seorang laki-laki terang-terangan mengakui dan menyatakan perasaannya pada laki-laki lain, label gay atau homoseksual langsung melekat. Padahal, pertama, gay atau homoseksual bukanlah sesuatu yang salah. Kedua, cinta di antara dua orang laki-laki tidak selalu berarti “gay love“.

Saya memang seorang gay, tapi cinta saya pada Agus, Ari, dan Arif bukanlah cinta yang seperti itu. Di antara kami, persahabatan adalah bentuk cinta terindah dan tertinggi dan itulah yang dulu kami miliki. Sayangnya, saya tidak sempat mengungkapkan perasaan saya itu. Saya sadar betul bahwa perasaan cinta tidak harus terucap. Kalaupun terucap tidak harus menggunakan kata cinta. Tapi mengapa tidak? Saya percaya kata-kata punya kekuatan yang sangat besar. Terutama kata cinta. Saya ingin menyatakan apa yang saya rasakan dengan penuh kekuatan karena apa yang terjadi di antara kami terasa sangat kuat buat saya dan saya yakin sama kuatnya juga buat mereka.

Tak hanya kata “cinta”, kata “sahabat” juga terasa terlalu berat untuk orang dewasa. Arif pernah bilang ke saya kurang lebih begini, “Aku sih enggak akan bilang kamu sahabatku. Aku bilang kamu itu partner”. Oh itu bukan dalam artian yang lebih baik! Baginya, partner adalah label yang masih di bawah sahabat. Beberapa teman yang saya kenal di usia dewasa juga pernah berkata bahwa mereka tidak akan melabeli orang lain sebagai sahabat bahkan kalaupun mereka merasa luar biasa dekat dengan orang itu.

Tanpa saya sadari, pelan-pelan saya mengadopsi pemikiran yang sama. Ketika “Bunga” tiba-tiba melabeli saya sebagai sahabatnya, saya terperanjat. Alih-alih berterima kasih karena rupanya apa yang saya lakukan baginya begitu berarti dan dihargai, saya malah menolak label tersebut. Padahal itulah yang ingin saya dapatkan, pengakuan sebagai sahabat.

Saya mengakui Agus, Ari, dan Arif sebagai sahabat saya. Saya bahkan yakin saya pernah mengatakannya langsung pada mereka. Tapi seingat saya, mereka tidak pernah mengatakan hal yang sama pada saya. Saya tidak pernah mendapat label sahabat dari orang lain, dan ketika saya mendapatkannya dari Bunga saya malah menolaknya. Kalau diingat lagi saya sungguh menyesal.

***

Kurang lebih tujuh tahun setelah berpisah, saya kembali bertemu dengan Bagus. Akhirnya dia melabeli saya sahabatnya. Belum lama kami kembali terhubung, dia bilang, “Kalau pacaran kan bisa putus, sahabat kan enggak“. Saya menolaknya dengan (agak) kasar. “Kata siapa? Kita pernah kok putus. Kamu tahu nomor hape-ku. Kamu tahu aku tinggal di mana waktu aku kuliah. Enggak jauh-jauh amat dari rumahmu. Aku yang enggak tahu kontakmu. Aku enggak bisa menghubungi kamu. Sebaliknya, kamu bisa menghubungiku, tapi kamu enggak pernah melakukannya. Kamu enggak bisa seenaknya ngasih label sahabat kayak begitu. Aku enggak melihat indikator yang menunjukkan kita bersahabat sekarang ini. Jadi jangan sebut-sebut kita ini sahabat!”. Padahal, sejauh saya mengenal Bagus, dia adalah seorang polos yang selalu bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan.

Baca juga: Seks Anal dan Otoritas Tubuh

Sekarang, kami sudah sama-sama di usia akhir 20-an. Kami sama-sama tinggal di Jakarta. Tapi sebagai orang dewasa, kami punya kesibukan yang sangat berbeda dan tidak punya banyak waktu untuk sering-sering bertemu. Tapi beberapa bulan sekali kami meluangkan waktu untuk berjumpa dan bertegur sapa. Saling mengejek satu sama lain. Menjadi pribadi yang persis sama dengan ketika kami masih SMP dulu. Kami juga merayakan hari ulang tahun masing-masing. Bagus pernah mentraktir saya 2-3 hari lebih awal karena dia harus ke luar kota di hari ulang tahun saya. Dia juga pernah menraktir saya kue 29 hari setelah hari ulang tahun saya lewat. Saya tidak pernah bilang ini pada siapa-siapa, tapi Bagus seolah tahu betul betapa saya SANGAT menyukai hari ulang tahun saya. Mungkin sebenarnya dia tidak tahu bahkan tidak sadar, tapi toh dia tetap melakukan gestur paling besar. Saya membalasnya tidak dengan gestur yang sama, tapi saya berusaha untuk membuatnya bahagia di hari ulang tahunnya. Sama seperti Agus, Ari, dan Arif, di antara saya dan Bagus, persahabatan adalah bentuk cinta paling terbaik.

Saya sudah bisa mengatakan “kamu sahabatku” pada Bagus. Saya bisa mengatakan saya sayang. Ketika saya masih punya pacar, saya bahkan pernah bilang, “Aku tuh sayang sama kamu lebih dari aku sayang sama pacarku loh!”. Buat saya, dia adalah prioritas. Saya mungkin masih tidak merasa nyaman dan aman menggunakan kata cinta pada siapa pun termasuk pada sahabat. Termasuk pada Bagus.

Seperti kata seorang teman di atas, saya juga mungkin menempatkan kata cinta jauh di atas kahyangan, tak terjangkau, dan (terlalu) menganggapnya sakral. Mungkin saya hanya akan mengucapkannya pada seorang kekasih. Tapi saya harap, mudah-mudahan akan ada masa di mana saya bisa menggunakan kata “cinta” pada siapa pun yang saya cintai. Romantis maupun tidak. Mungkin akan terdengar murah dan mudah. Tapi mengapa juga harus mahal dan susah? Bukankah cinta dan kata cinta seharusnya sederhana dan gratis?


Avatar
About Author

Budi Winawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *