Lifestyle

‘Self Care’ Boleh, Manjakan Diri Berlebihan Jangan

Self-care sangat krusial terutama di tengah pandemi, tapi jangan sampai jadi memanjakan diri secara berlebihan.

Avatar
  • September 23, 2020
  • 6 min read
  • 729 Views
‘Self Care’ Boleh, Manjakan Diri Berlebihan Jangan

Belakangan ini, topik self-love atau self-care sedang gencar-gencarnya dikampanyekan oleh berbagai pihak. Topik ini muncul pada lirik lagu, buku-buku, artikel, dan juga di media sosial.

Dalam acara Bisik Kamis, program rutin Instagram Live yang digelar Magdalene pada Kamis (3/9), psikolog klinis dewasa dari lembaga penyedia jasa konseling psikologi Ibunda, Arrundina Puspita Dewi mengatakan self care adalah bentuk penghargaan kita terhadap apa yang diri kita miliki secara fisik dan sebagai karakter. Individu yang menerapkan cinta diri atau self-love pada dirinya sendiri akan bangga dengan hal-hal yang ia miliki.

 

 

Kegiatan sederhana seperti mandi, makan makanan bernutrisi tepat waktu, beristirahat dengan cukup, hingga berolahraga secara teratur adalah beberapa bentuk self-care yang lazim seseorang lakukan sehari-hari. Di samping itu, self-care juga dapat mencakup perawatan kulit rutin setiap malam, menonton drama Korea, mengambil cuti untuk jalan-jalan, membaca buku satu jam setiap malam, atau bahkan minimal seminggu sekali.

“Bentuk, durasi, dan batasan self-care sangat subjektif, tergantung kebutuhan dan keadaan setiap orang,” kata Dina, yang juga menjadi pembicara di kelas Insight Me, sebuah layanan e-learning self help yang berafiliasi dengan Ibunda ini.

Dengan melakukan self-care, menurunya, seseorang dapat lebih memahami diri sendiri lebih dalam, membuat kita mencari bentuk kegiatan yang dapat membuat kita bahagia, dan diri yang bahagia akan memiliki kemampuan untuk lebih mudah memperhatikan sekitar. Hal ini akan berimbas bagi orang-orang di sekitar dan memperbaiki relasi kita dengan orang lain.

Ketika seseorang sering abai melakukan self-care, akan muncul beragam dampak psikis dalam jangka panjang, seperti perasaan tidak nyaman dengan diri sendiri, haus akan pengakuan, membutuhkan validasi secara terus-menerus dari lingkungan sekitar, level energi yang rendah, dan rentan mengalami burn-out atau kelelahan luar biasa setelah melakukan rutinitas.

Seiring dengan bertambahnya aktivitas dan peran yang dijalankan, seseorang mungkin saja lupa secara rutin menyempatkan waktu untuk melakukan self-care. Oleh karena itu, kegiatan yang dilakukan dalam rangka mempraktikkan hal ini perlu disesuaikan atau dinegosiasikan terus menerus. Penyesuaian ini dilakukan agar penerapan self-care tidak berbenturan dengan kepentingan lain atau kewajiban seseorang yang juga harus dituntaskan.

Sebagai upaya membentuk kondisi psikis yang positif dan mengisi ulang energi, tidak seharusnya seseorang merasa bersalah saat melakukan self-care. Dalam konteks kehidupan seorang ibu yang baru melahirkan misalnya, ia tidak perlu merasa bersalah ketika ikut tidur selama bayinya tidur. Hal-hal domestik lain yang menjadi tanggung jawabnya tidak harus selalu dilakukan begitu bayinya beristirahat sehingga ia bekerja nyaris tanpa henti. Tidur sebagai salah satu bentuk self-care bagi seorang ibu akan sangat erat kaitannya dengan kesehatan mental dan fisik dia yang harus menjalani tugas “maraton” mengasuh anak dan mengerjakan tugas domestik, ditambah lagi kerja publik bila ia memilih mempertahankan kariernya.

Baca juga: Ajari Aku Mencintai Diriku Sendiri (Lagi)

Berbeda dari self-care, memanjakan diri berlebihan atau self-indulgence bisa mendatangkan konsekuensi negatif bagi seseorang. Bentuk self-indugence contohnya seperti sering berniat beristirahat selama 60 menit yang kemudian malah dilakukan sepanjang hari, lalu mengabaikan kewajiban-kewajiban lainnya dalam keseharian. Ini juga dapat ditemukan dalam kondisi di mana seseorang menghabiskan setengah harinya untuk bermain game atau aktivitas kesenangan lainnya sampai lupa waktu makan, tidak mengerjakan tugas-tugas rumah, atau menelantarkan tuntutan pekerjaan kantor.

Tidak jarang self-indulgence ini dipahami sebagai bentuk self-care. Padahal, kegiatan yang dilakukan dalam self-indulgence terkait dengan keinginan untuk lari dari tanggung jawab. Tentunya hal ini akan menjadi destruktif bagi diri seseorang dan berdampak pula pada relasi atau kepercayaan sekitar kepadanya.

Dina mengatakan bahwa ukuran self-indulgence ditentukan oleh diri sendiri sebelum melakukan suatu kegiatan. Misalnya, seseorang menganggap wajar menghabiskan waktu dua jam untuk membaca buku sebagai bentuk self-care, tetapi bagi orang lain bisa saja hal ini dianggap berlebihan. Karenanya, penting untuk mengeset lebih dulu durasi dan bentuk aktivitas yang hendak kita lakukan untuk self-care, dengan tetap memperhatikan penyelesaian tugas atau kewajiban sehari-hari.

Cara-cara sederhana untuk self-care

Menurut Dina, ada sejumlah cara sederhana untuk melakukan self-care.

Pertama, dengan memilih dan melakukan kegiatan yang disukai atau membawa kebahagiaan. Hal ini juga dapat dilakukan dengan mencari tahu “love language” seseorang. Secara umum, ada lima tipe love language yaitu words of affirmation, acts of service, receiving gifts, quality time, dan physical touch. Dengan mengetahui tipe love language, akan lebih mudah bagi seseorang untuk memutuskan kegiatan apa yang cocok sebagai bentuk self-care-nya.

Cara berikutnya ialah dengan mengekspresikan diri secara rutin untuk meringankan beban. Ini dapat dilakukan misalnya dengan menuliskan berbagai kebaikan dalam diri atau kebaikan yang kita lakukan pada hari itu. Selain itu, mengekspresikan diri juga bisa dengan cara menulis jurnal (journaling) atau semacam diary berupa poin-poin pengalaman secara singkat maupun panjang, menggambar/doodling, mewarnai, atau merekam suara sendiri menceritakan hal yang sedang dirasakan.

Expresive journaling juga dapat membantu kita mengingat atau mendokumentasikan berbagai momen hidup, termasuk pencapaian yang pernah kita raih. Hal ini dapat menambah kepercayaan diri seseorang saat ia membacanya lagi di masa depan.

Metode yang dilakukan Dina sendiri adalah meminta teman-temannya menuliskan review mengenai dirinya, dan menuliskan sendiri berbagai pencapaian diri pada post-it yang ditempel di tempat yang mudah terlihat setiap hari. Hal tersebut membuat Dina bersemangat dan lebih bahagia saat membacanya kembali.

Kegiatan mengekspresikan diri juga dapat dilakukan dengan melibatkan orang lain, contohnya seperti dengan curhat kepada pasangan, mengobrol di telepon dengan sahabat, makan siang bersama orang tua, dan sebagainya. Poinnya adalah menuangkan perasaan-perasaan yang dimiliki pada suatu waktu, karena perasaan yang dipendam terus-menerus dapat bertumpuk dan berakibat buruk bagi kesehatan mental apabila meledak di kemudian hari.

Cara ketiga yang Dina sarankan untuk menerapkan self-care adalah melakukan butterfly hug yaitu memeluk diri dengan mengatakan kata-kata afirmatif seperti “Terima kasih atas perjuanganmu hari ini” dan “Maaf, karena hari ini aku..”

Butterfly hug merupakan salah satu metode sederhana yang dapat dilakukan setiap malam sebelum tidur. Caranya dengan berbaring di kasur, memejamkan mata, mengatur napas, dan memeluk diri dengan meletakkan kedua telapak tangan di pundak yang berlawanan. Setelah itu, seseorang dapat mulai mengingat setiap kegiatan yang telah dilakukan sepanjang hari dan menyampaikan pesan dan apresiasi terhadap diri setelah melalui hari tersebut.

Baca juga: BTS dan ARMY: Bongkar Hegemoni Industri Musik Hingga Stereotip ‘Fangirl’ Obsesif

Keempat, seseorang perlu menerapkan batasan (boundaries) dalam merawat dirinya. Menjaga jarak dengan teman toksik atau penuh penghakiman adalah salah satu upayanya. Bila seseorang terus bertahan berelasi dengan orang-orang semacam ini, proses pengekspresian dirinya akan terhambat. Alih-alih sehat, keadaan mentalnya bisa semakin buruk bila tidak membuat batasan dengan pihak atau hal tertentu, apalagi dalam keadaan burn-out.

Cara kelima adalah mengontak profesional psikologi dan meminta bantuannya saat diri hendak meledak. Ada kalanya seseorang enggan bercerita kepada teman karena tidak nyaman, takut dihakimi, atau takut membebani. Pada saat itulah ia perlu mencari bantuan profesional untuk merawat dirinya saat sedang kepayahan secara mental.

Selain itu menurut Dina, tidak bersikap terlalu keras terhadap diri sendiri juga merupakan bentuk self-care. Agar tidak terjebak dalam situasi tersebut, seseorang perlu memiliki perencanaan matang dan mempertimbangkan ketersediaan resource termasuk energi dan kemampuannya sendiri dalam meraih gol atau target kerja.

“Target dan kemampuan harus berbanding lurus dan tidak muluk-muluk. Apabila penentu target adalah orang lain seperti bos atau atasan dan kemampuan kita tidak mencukupi, maka sebaiknya mintalah bantuan orang lain,” ujar Dina.

Bagi orang-orang yang perfeksionis dalam kerja, sering kali self-care terabaikan. Dina mengatakan, jika kita menemukan orang seperti ini, sebagai teman atau keluarga, yang dapat kita lakukan ialah mengingatkan yang bersangkutan supaya sadar untuk memperhatikan dirinya sendiri.

“Dia perlu memperhatikan tubuhnya yang berhak untuk diberikan nutrisi yang baik dan sedikit jeda untuk beristirahat, atau dengan kata lain, melakukan self-care,” kata Dina.


Avatar
About Author

Bini Fitriani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *