People We Love

Amar Alfikar Bicara Hak Beragama Transgender: ‘Islam Tak Lihat Fisikmu’

Hingga kini, ruang aman dan hak beragama kelompok transgender kerap dicabut paksa. Padahal kenyataannya, Islam adalah rahmat bagi semesta, tanpa kecuali.

Avatar
  • April 25, 2022
  • 15 min read
  • 859 Views
Amar Alfikar Bicara Hak Beragama Transgender: ‘Islam Tak Lihat Fisikmu’

Bak jatuh tertimpa tangga, kelompok transgender menghadapi berbagai hambatan cuma demi menjalankan agamanya sendiri. Tak cuma stigma dari publik, negara juga absen memberi rasa aman. Yang terbaru misalnya, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menggulirkan Peraturan Daerah (Perda) Perda Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S), di mana salah satunya mencakup kelompok transgender. 

Buntut regulasi diskriminatif ini lumayan fatal: Kebencian terhadap transgender makin dijustifikasi, termasuk dalam urusan keyakinan. Kelompok minoritas itu kerap disangka tak beragama, jauh dari Tuhan, dicap kurang iman, juga tak laik diperlakukan setara. Singkatnya, dalam banyak kasus, hak beragama transgender dilucuti habis-habisan. Padahal sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan dan warga negara Indonesia, mereka punya hak serupa yang seharusnya dilindungi konstitusi. 

 

 

Dalam acara Instagram Live Magdalene, Bisik Kamis Spesial Ramadan bertajuk “Antara Trans, Ramadan, dan Islam” (21/4) Amar Alfikar, aktivis transgender ini menyuarakan keresahannya soal hak beragama kelompok trans seperti dirinya. Amar yang kini menempuh pendidikan S2 Teologi dan Agama Universitas Birmingham ini juga membagi perspektifnya tentang interpretasi Islam yang lebih adil dan inklusif bagi kelompok trans. 

Berikut kutipan obrolan tersebut.

Magdalene: Mungkin sudah banyak orang mendengar soal coming in atau penerimaan diri dan coming out atau melela. Setiap individu tentunya memiliki proses dan definisinya masing-masing akan kedua proses ini. Dari bang Amar sendiri, prosesnya bagaimana?

Hal pertama yang mungkin harus kita garis bawahi bersama adalah coming out bukan sebuah kewajiban. Setiap orang punya latar belakang dan situasinya masing-masing dan kita tidak bisa memaksa orang harus coming out. Kita perlu acknowledge dulu kondisi orang itu berbeda-beda, baik dalam segi kemampuan, energi, bahkan privilese. Banyak orang salah paham, misalnya nanya ke aku, “Caranya bisa coming out gimana?” Aku akan jawab “Enggak bisa”. Kamu punya ceritamu sendiri, punya keunikan sendiri. Itu harus kamu gali melalui cara pandangan dan caramu sendiri, jangan samakan dengan orang lain. 

Pengalamanku sendiri, dua proses coming in dan coming out berjalan beriringan. Ketika orang itu melela, mengakui dirinya sebagai queer atau identitas atau orientasi gender yang berbeda, bukan berarti dia terlepas dari bias, itu yang harus dipahami. Bukan karena dia melela, berarti dia terlepas dari problematika dalam dirinya. Artinya, kita harus terus belajar, aku ingin mengatakan, aku punya privilese.

Walau demikian, prosesnya tetap tidak gampang. Masih ada dialog antara aku dan orang tua, bahkan aku dan kakakku sempat berhenti berkomunikasi sama sekali selama beberapa tahun sampai akhirnya pelan-pelan kami membuka diri. Secara singkat, ada dialog antara aku dan orang tua juga kakakku yang ini sering orang lewatkan. Bahwa penerimaan itu bukan berarti harus memaksa 100 persen agar orang bisa sepakat dengan apa yang kita yakini. 

Penerimaan itu bukan berarti harus memaksakan orang, “Oh keyakinan aku seperti ini, maka kamu harus setuju dengan keyakinanku.” Itu yang aku pelajari dari dialogku dengan keluarga. Sampai akhirnya, keluargaku memahami, “Oh, itu pemahamanmu, itu tafsirmu tentang agama, kami punya tafsir yang beda, dan kamu tetap anggota keluarga yang tetap harus diterima, harus tetap di-support hak-hakmu untuk hidup, mengakses kehidupan, layanan publik, kesehatan, dan sebagainya.” Nah, ini yang orang sering kali tidak menangkapnya secara utuh. 

Baca Juga: Al-Qur’an Tak Ajarkan Membenci Kelompok LGBT: Akademisi Muslim

Terlepas dari privilese, ada enggak tantangan secara spesifik dalam coming in dan coming out, mengingat Bang Amar ini transpria queer yang seorang muslim dengan latar belakang dari keluarga pesantren?

Tantangannya adalah melawan bias-bias dalam diri sendiri. Karena orang lain saja biasnya banyak, maka kita harus semakin belajar bias-bias dalam diri. Misalnya meyakini bahwa kita bukan ciptaan Allah, narasi yang sering kali dibawa oleh orang-orang bahwa kita berdosa karena kita menjadi trans, menjadi queer.

Setiap manusia itu berdosa, tapi orang itu berdosa bukan karena identitasnya. Misal dalam pandangan misoginis, perempuan dipandang sebagai ladang dosa, sumber fitnah, ini salah satu bias. Bias ini kemudian menjadi tantangan besar ketika orang melihat trans atau queer dalam lingkungan mereka. Itu yang aku alami di pesantren. Menariknya, (dalam menghadapi bias ini), orang tuaku tidak menggunakan bahasa yang ndakik-ndakik, mereka tokoh kampung yang gender, seksualitas, atau human rights enggak tahu.

Namun, beliau-beliau ini memakai bahasa-bahasa sederhana: “Ya inilah anakku, inilah takdir yang Allah berikan pada anakku. Jadi kalau aku menolak atau membuang anakku, maka aku telah mengingkari takdir Allah.” Itu tantangan besarnya, menghadapi orang-orang yang mencemooh dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami oleh mereka.

Dalam kaitannya dengan bias pribadi, aku sendiri justru belajar, misalnya soal keberagaman gender, yang ternyata sudah jadi bagian masyarakat berabad-abad lamanya, bahkan sebelum ada istilah gender. Keberagaman gender sudah jadi tradisi, ritus di berbagai agama, dan keyakinan di dunia. Dari situ aku berefleksi lagi, dan itu tantangannya karena keluarga kami adalah keluarga pesantren. 

Pasti awalnya banyak yang kaget, tidak mungkin mereka menerima, ada proses di situ. Misalnya rumahku banyak didatangi orang, ada tokoh ulama yang datang hanya untuk menanyakan kenapa anaknya bisa seperti ini, pada kepo. Ketika sudah berjumpa, berkali-kali bersapa, bias itu lama-lama luntur. Itulah pentingnya dialog dan membuka diri bahwa kita itu manusia, bagian dari masyarakat yang berperan di lingkungan. Pun, bagian dari masyarakat yang perlu dihargai, serawung (bergaul. Red) dalam Bahasa Jawa.

Berhubungan dengan penerimaan keluarga Bang Amar melalui dialog. Sebetulnya bagaimana, sih Islam memandang kondisi teman-teman transgender sendiri?

Kita mesti berkaca dulu ya esensi agama itu apa. Ketika orang-orang bertanya bagaimana Islam memandang transgender? Kita harus berangkat dulu dari basisnya. Bahwasanya apakah agama itu ada untuk mengopresi atau memerdekakan manusia? Apakah agama itu mendukung keadilan, menciptakan peradaban masyarakat yang mampu menghargai satu sama lain? Karena jika kita sudah memahami basisnya, maka isu apa saja yang kita perbincangan, pasti akan berangkat dari basis ini dulu. 

Dari aku yang aku baca, Islam dan agama apa pun, menurutku bicara rahmah, cinta kasih, compassion, menghargai orang lain. Prinsip-prinsip agama mengajarkan orang-orang untuk berbuat baik, esensi agama ya itu, untuk mengangkat suara-suara mustadh’afin, yang dalam bahasa Alquran dimaknai sebagai orang-orang tertindas. Alquran selalu berbicara tentang orang-orang tertindas, membicarakan keadilan, dari situ saja kita sudah bisa melihat bagaimana Islam memberikan perhatian penuh terhadap keadilan.

Lalu kenapa ketika kita ngomongin isu-isu yang dianggap “kontroversial”, keberagaman gender misalnya, mereka akan membalasnya dengan argumen ini bukan toleransi, ini tidak kompatibel. Betul Alquran tidak menyebutkan transgender tapi Alquran juga tidak menyebutkan internet, mobil, Facebook misalnya. Alquran menyebut semangat rahmah, soal keadilan. 

Dalam satu riwayat misalnya disebutkan, innallaha la yandzuru ilaa suwarikum wa amwaalikum walakin yandzuru ila qulubikum wa a’maalikum. Artinya, Allah tidak melihat dari bentukmu seperti apa, Allah tidak melihat jasadmu, jasad lahiriah seperti apa. Yang Allah lihat itu qulubikum, hatimu. Jadi sebenarnya label yang kita lekatkan pada diri kita atau label yang kita lekatkan pada orang lain itu jadi tidak penting. Yang penting adalah hati serta ketakwaan.

Ketakwaan sendiri juga harus dimaknai sebagai praktik-praktik baik, praktik- praktik sosial kita yang lain. Alquran juga menariknya menyebutkan salah satunya istilah, ghoiri ulil irba minar rijal pada Surat An-Nur ayat 30. Ini ada klasifikasi di mana aurat perempuan boleh diperlihatkan dengan sesama perempuan, orang tuanya, anaknya. Nah, ini tidak bisa dimaknai secara tekstual saja bahwa laki-laki tidak berhasrat. Harus kita pahami, ayat apa pun itu tidak bisa dipahami secara tekstual, selalu ada semangat kontekstual di dalamnya.

Alquran itu turun beribu tahun yang lalu, sehingga ada bahasa kontekstual yang harus kita pahami. Ghoiri ulil irba minar rijal oleh para ahli tafsir itu ada yang menerjemahkan orang kasim (orang tua), yang sudah tidak tidak memiliki hasrat. Ini juga sebenarnya masih bias juga karena belum tentu orang yang sudah tua tidak memiliki hasrat.

Ada juga yang menerjemahkan bahwa ini laki-laki yang tidak memiliki hasrat pada perempuan, pada gilirannya ayat ini digunakan oleh banyak pemikir muslim kontemporer har ini untuk mengatakan bahwa Alquran memberikan ruang pada keberagam gender dan seksualitas.

Orang-orang banyak mengatakan Alquran itu universal, bisa dibaca sepanjang zaman. Artinya proses membaca ayat di dalamnya harus melihat konteks hari ini, termasuk mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam kaitannya dengan seksualitas dan gender, harusnya kita mengombinasikan dengan Sexual Orientation, Gender Identity and Expression, and Sex Characteristics (SOGIESC).

Baca Juga: Berpeci dan Sarung atau Pakai Mukena: Dilema Transgender dalam Beribadah

Dari kecil, banyak dari kita menemui para pendakwah yang mengungkapkan eksistensi dari transgender sendiri seolah-olah tidak ada, kita mengada-ada. Tuhan tidak mungkin menciptakan kita. Berati sebenarnya terminologi dalam konteks Islam, memberikan ruang bagi eksistensi teman-teman trans. Hal seperti diskriminasi atas nama agama, untuk Bang Amar sendiri bagaimana responsnya?

Agama diyakini dan dipeluk orang karena menjanjikan keteduhan, kedamaian, dan keadilan. Jadi ketika ada orang yang menggunakan agama untuk memicu kekerasan, kalau ada orang yang menggunakan agama untuk mengopresi orang orang lain dan menjustifikasi opresi, bias-bias, dan stigma, maka itu bagiku bukan datang dari ketulusan beragama, dari Tuhan tapi ego manusia yang ingin menindas. Ego yang berlindung dengan narasi kesucian agama.Kita harus kembali lagi pada prinsip, bahwa prinsip iman, kebertuhanan itu agar orang itu nyaman, agar tentram bukan justru menjadikan orang takut terhadap kita.

Jadi pada intinya agama itu menyebarkan welas asih ya. Jika masih ada orang yang melakukan opresi, tindakan destruktif yang bisa menyakiti satu sama lain atas nama agama, ya itu bertindak atas diri mereka sendiri. Nah ini dalam bulan Ramadan, melalui pandangan transgender sendiri, ada enggak hal-hal unik yang bisa dibagikan?

Pastinya banyak yang unik dan menantang ya, misalnya enggak semua rumah ibadah mau menerima kita. Namun, kita harus optimis bahwa betul sebagian masyarakat menolak kita atau rumah ibadah sebagian besar tidak inklusif. Padahal di daerah daerah, banyak sekali tempat atau rumah-rumah ibadah untuk teman-teman queer atau trans, termasuk di Jogja. Ada pesantren Al-Fatah yang dipimpin dan dikelola oleh teman teman transpuan.

Aku dua tahun lalu ke Madura dan Surabaya, ternyata mereka punya jamiah sendiri terutama di bulan Ramadan mereka mengaji, belajar bareng-bareng dan mereka diterima oleh masyarakat sekitar. Artinya, Islam seperti ini yang harus lebih banyak ditampilkan. Bahwa ada harapan dan ruang aman yang sudah tersedia dan perlu diperbanyak. 

Pengalamanku aku sebenarnya masih baru di dunia aktivisme, tapi dari pengalaman bertemu teman-teman di daerah, memperlihatkan bagaimana Ramadan itu bermakna ketika ada ruang ruang terbuka untuk mereka. Untukku sendiri di pesantren aku awalnya tidak percaya diri, merasa rendah diri. Tapi ibuku, ketika aku tidak yakin diterima di tempat lain mengajakku sholat tarawih.  “Sudah salat tarawih bersama ibu, suara kamu enak, ibu suka dengar kamu ngaji.”

Itu pengalaman luar biasa bahwa masih ada orang orang yang seperti ibuku, muslim yang mau membuka hatinya dan mendorong orang-orang seperti kita untuk mengekspresikan imannya, agamanya dengan cara yang teduh dan merdeka. Kita butuh memperbanyak lagi muslim-muslim yang mau belajar menjadi inklusif.

Ini relateable banget ya dengan teman-tempan transgender sebagai kelompok minoritas yang sebenarnya ada keinginan untuk beribadah tapi ada perasaan yang mengganjal karena ada rasa takut atas penghakiman orang orang. Lalu kalau berbincang tentang pengalaman transgender, sebenarnya dalam Islam sendiri transisi yang dialami teman-teman transgender itu seperti apa, sih?

Kita tidak bisa menanyakan bagaimana pandangan Islam, mengapa? Karena Islam tidak berbicara apa-apa, yang berbicara itu muslimnya, tergantung siapa yang berbicara. Jadi misalnya ditanyakan bagaimana pandangan Islam tentang rokok, tidak bisa itu kita tiba-tiba mengatakan menurut Islam rokok itu haram, karena ada muslim yang mengatakan rokok itu haram, ada juga muslim yang mengatakan rokok itu tidak haram.

Ini salah satu analogi untuk mengatakan, segala persoalan fikih, persoalan apa pun dalam islam itu tergantung siapa yang mendekatinya, siapa yang melihatnya, siapa yang membicarakannya. Karena Islam itu bukan agama yang monolitik yang tafsirannya hanya bersifat tunggal. Ini yang harus kita pahami betul dan justru itu letak keindahannya.

Tidak bisa kita mengatakan tafsir ini A paling benar tafsir A itu salah, karena tafsir itu bergaman. Itulah kenapa kita membaca Alquran dan menafsirkannya ada ulumul quran, asbabun nuzul atau sebab sebab turunnya Alquran, kalau hadis ada asbabul wurud.

Teks itu didekati dengan berbagai cara, perspektif, dan metode dan kita tidak bisa membuatnya tunggal. Misalnya soal transisi, transisi sendiri kan bukan sebuah hal yang wajib ya dalam isu trans. Setiap trans punya pengalaman berbeda beda dalam mengaktualisasikan dirinya, ada yang melakukan transisi secara sosial, ada juga yang hormonal, semua valid. Gender identity itu bukan pilihan tapi transisi pilihan, itu yang masyarakat sering keliru. 

“Oh kamu memilih jadi trans”, no kita tidak memilih menjadi trans tapi kita bisa memiliki pilihan apakah kita ingin bertransisi atau memilih coming out atau tidak. Jadi gimana sih pandangan islam? Aku ingin merujuk dari ustad Abdul Muiz Al-Ghazali, ulama yang mengajar di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

Dalam salah satu artikel jurnalnya berjudul “Benang Kusut Fiqih Waria”, ia melakukan analisis yang merujuk pada kitab klasik dan hadis dan menyampaikan bahwa dalam fikih klasik sudah mengenal dengan baik apa yang disebut dengan bukhanas, khunsa, mutarojilat, ini adalah tiga istilah yang digunakan fikih klasik bahwa ada keragaman gender. Bayangkan saja belum ada Ilmu Medis dan Psikologi yang maju, tapi pemikir klasik telah menggunakan istilah-istilah ini.

Fakta para ulama ini sudah memberi tempat, misalnya memberi tahu tata cara salatnya bagaimana itu kan menunjukkan, mereka mendorong orang-orang queer yang berbeda untuk beragama. Sayangnya ini sulit diaktualisasikan muslim hari ini yang selalu apa-apa haram padahal fiqih klasik sendiri memberikan ruang kepada keragaman dan perbedaan.

Begitu pula dengan transisi, Buya Hamka, mufassir Alquran ternama di Indonesia, beliau memberikan saksi pada sidang proses ganti status ganti kelamin pertama pada 1973, yang dilakukan oleh mbak Vivian Rubianty. Beliau hadir memberikan kesaksian dan mengatakan, islam ditunjukkan untuk memberikan kemaslahatan. Pun, persidangan itu juga sejalan dengan tujuan Islam, yaitu memberikan kemaslahatan pada Rubi dan teman-teman trans.

Jadi pilihan transisi apa pun yang dipilih orang sepanjang itu ditunjukkan untuk kemaslahatan, membuat dia lebih merdeka, lebih utuh sebagai manusia, nyaman dengan dirinya, maka itulah yang sesuai dengan semangat Islam. Sebagai pemberi kebaikan kepada semesta, kepada manusia.

Baca Juga: Urusan Privat Dorce yang Tak Patut Dicampuri

Lalu berkaitan dengan terminologi dalam Alquran, apakah Rasulullah sendiri membenci transgender? Mengingat ada penafsiran yang mengatakan Rasul melaknat transgender.

Nah ini memang ada hadis yang selalu di pakai. Dalam hal ini, Nabi yang melarang laki-laki yang menyerupai perempuan al-mutasyabbihin minal rijal bin nisaa’ dan perempuan yang menyerupai laki-laki al-mutasyabbihat minan nisaa’ bir rijaal atau juga disebut al-mutarajjilat. Nah orang-orang suka lupa sebab adanya hadis ini. Untuk menjawab ini aku sarankan membaca dua referensi. Pertama, dari Ustad Arif Nuh Safri dari Institut Ilmu Alquran di yogyakarta dan pengajar di pesantren Al-Fatah. Bukuny berjudul “Memahami keberagaman gender & seksualitas: sebuah tafsir kontekstual Islam”.

Ada satu lagi tulisan dari ustad Khoirul Anwar yang berjudul “Waria dalam Islam: Sosok Bermartabat Yang Dimuliakan Tuhan”. Dua sumber ini melihat dan menkaji hadis tadi pelaknatan Nabi yang orang pahami sebagai trans dan menyimpulkan, yang dilaknat bukan identitas mukhannath tapi karena ada dua kemungkinan.

Pertama, ia sebenarnya adalah laki-laki cishetero yang berdandan sebagai mukhannath, berdandan feminim agar bisa masuk ke bilik istri Nabi Muhammad. Ini menarik karena sebelum hadis ini turun mukhannath ini dipekerjakan Nabi Muhammad untuk membantu di rumah tangga Nabi Muhammad, diberikan ruang bekerja di sini dan ditempatkan di bilik perempuan. Sebelum turun ini dimasukan dalam ruang khusus perempuan lalu ada satu orang di beberapa narasi disebut Haram, Hid, si orang ini kemungkinan cishetero yang melakukan kebohongan dan eksploitasi seksual dan pelecehan. 

Dalam hadis lain, mukhannath ini dipersilahkan dalam bilik perempuan kemudian melakukan pelecehan seksual, wah tubuh perempuan seksi, dengan perumpamaan. Nah itu dia melakukan pelecehan, sexualised perempuan, maka Nabi marah dan tidak membiarkan dia masuk lagi. Dari situ maka disimpulkan yang dilaknat bukan identitasnya, tetapi karena orang melecehkan orang lain, mengeksploitasi secara seksual tubuh orang lain. Ini yang orang sering lupakan, sering tidak mau belajar, padahal semangatnya hadis ini adalah secara keras berkata tidak pada kekerasan dan pelecehan seksual.

Sedikit kilas balik, belakangan ini kita diguncang dengan kabar kematian Bunda Dorce yang identitasnya sangat lekat dengan Islam. Dari kepergian beliau, yang menjadi perdebatan adalah tata cara menangani jenazah almarhumah. Sebetulnya bagaimana prosesi penguburan trans gender dalam Islam, apakah benar begitu biner?

Kita perlu melihat secara lebih luas sebetulnya dalam Islam memperlakukan jenazah laki-laki dan perempuan itu tidak jauh berbeda. Kita dipocong ya, kain kafannya dua-duanya sama-sama berwarna putih yang membedakan cuma berapa lapisnya saja. Cara penguburannya tetap sama. Aku sempat ngobrol dengan teman-teman di Malaysia, mereka itu punya grup lho. Mereka dilatih, sehingga ketika salah satu teman trans ada yang meninggal, maka yang akan mengurusi jenazahnya sesuai dengan wasiat trans ini ya teman-teman transnya. 

Nah, ini yang kita tidak punya. Ruang kolektif di mana ketika trans berwasiat maka teman trans yang mengurusi. Yang terjadi pada bunda Dorce, beliau sudah berwasiat tapi tidak dilaksanakan tentu kita tidak bisa menghakimi keluarga karena merekalah yang kehilangan dan punya pertimbangannya masing-masing. Lagi-lagi kita perlu legowo melihat kompleksitasnya. 

Lalu, tata caranya seperti apa? Kembalikanlah pada transnya yang sudah berwasiat itu harusnya mengikuti wasiatnya. Ini ada salah satu tulisan yang bisa dijadikan rujukan di Islami.co. Ada dua kiai yang menulis terkait meninggalnya bunda Dorce yang menurutku sangat inklusif karena mengatakan, ketika seorang berwasiat untuk dikuburkan sebagai laki-laki atau perempuan, maka kewajiban dari sang ahli waris adalah mengikuti permintaan si pewasiat. 

Sebagai penutup, kira-kira menurut Bang Amar apa yang bisa dilakukan agar teman-teman trans bisa mendapatkan hak-haknya?

Ini pertanyaan yang jawabannya sangat luas karena membutuhkan kerja banyak pihak dan tidak bisa menuntut satu pihak saja. Negara dan masyarakat pun harus hadir dan teman-teman trans harus menyambut begitu pula dengan teman-teman aktivis. Semuanya menurutku harus bekerja aktif, respectful juga. Jangan sampai menegasikan satu sama lain karena semuanya sama pentingnya. Jadi semuanya harus bergerak, semua punya peran masing-masing dan menurutku bertahan hidup aja udah bagian dari aktivisme, bertahan itu sudah bagian aktivitas yang merupakan sebuah perjuangan luar biasa menurutku. 

Jangan berpikir kita tidak memiliki peran yang tidak penting, karena ini yang sering salah dipahami bahwa menjadi trans yang diterima maka harus menjadi trans yang berprestasi harus kaya raya, punya bisnis yang sukses, diterima keluarga. Kita hidup, tetap bertahan, berjuang itu bentuk pencapaian yang luar biasa, apa pun cara teman-teman untuk menjadi diri sendiri, tetaplah menjadi diri sendiri berjuang dengan cara sendiri-sendiri, kita sama sama berjuang, kita sama-sama aktivis di sini.


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *